Mei 2015





Dalam hal penyucian jiwa, Puasa menduduki derajat ketiga setelah shalat dan zakat, karena diantara syahwat besar yang bisa membuat manusia menyimpang adalah syahwat perut dan kemaluan. sedangkan puasa merupakan pembiasaan terhadap jiwa untuk mengendalikan kedua syahwat yang ada. Oleh sebab itu, puasa merupakan faktor penting dalam tazkiyatun nafs/ penyucian jiwa. Apabila kesabaran termasuk kedudukan jiwa yang tertinggi maka puasa merupakan pembiasaan jiwa untuk bersabar. oleh sebab itu disebutkan dalam sebuah hadits, "Puasa adalah separuh kesabaran" H.R. Tirmidzi dan Ibnu Majah, hadis hasan.


selain itu, Allah swt menjadikan puasa sebagai sarana untuk mencapai derajat takwa ketika berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan puasa atas kamu sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa (Al Baqarah : 183)"

Takwa sendiri adalah tuntutan Allah kepada para hamba, dan takwa sama dengan tazkiyatun nafs, sebagaimana Firman Allah swt, "Dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. " (Asy-Syams : 7-10)

 





Menghajikan Almarhum Ayah dan Wakaf Tunai Assalaamualaikum Pak Ustaz, 


Beberapa waktu yang lalu saya menghadiri sebuah pertemuan di mana di dalamnya dibagi-bagikan undangan untuk memberikan wakaf tunai. Salah satu yang membuat saya tertarik adalah juga dikomunikasikannya bahwa saya bisa memberikan wakaf tunai untuk Ibu saya yang sudah meninggal. Saya mohon bantuan Pak Ustaz untuk menjelaskan ini dari sudut pandang syariat Islam.
Senapas dengan pertanyaan di atas, bisakah anak juga menghajikan almarhum ayahnya? Alhamdulillah saya sendiri sudah pergi haji, juga alhamdulillah saya berkesempatan menghajikan Ibu ketika beliau masih hidup.
Selama ini saya memahami bahwa hanya orang yang masih hiduplah yang masih punya kesempatan untuk beramal. Sedangkan mereka yang sudah wafat tidak mempunyai kesempatan beramal lagi, walaupun bisa mendapatkan pahala dari amal jariah yang dulu mereka tunaikan, ilmu yang bermanfaat yang dulu mereka amalkan, dan doa dari anak-anak mereka yang saleh.
Mohon penjelasan Pak Ustaz. Semoga Allah membalas amal kebaikan Pak Ustaz. Terima kasih


Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sebelumnya kami akan jelaskan dulu dengan masalah wakaf dan variannya, wakaf tunai. Setelah itu akan kami jelaskan tentang masalah wakaf untuk orang yang sudah wafat serta perdebatan antara yang mengatakan bahwa pahala untuk mayat bisa diterima dari orang yang masih hidup.
1. Wakaf dan Wakaf Tunai
Secara bahasa wakaf bermakna berhenti atau berdiri (waqafa/yaqifu/waqfan). Sedangkan dalam makna secara syari'ah adalah menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusakkan bendanya ('ain-nya) dan digunakan untuk kebaikan.
Kalau kita memberi uang 100 juta kepada seorang miskin, maka kita akan dapat pahala sekali saja saat itu. Tapi kalau kita mengeluarkan uang itu untuk membangun kost-kostan, lalu hasil usaha itu secara rutin kita berikan kepada orang miskin, maka kita juga akan dapat pahala secara rutin.
Maka harta yang diwakafkan itu terbatas pada barang-barang yang tidak habis dipakai, baik berupa tanah, sekolah, madrasah, bangunan masjid dan lainnya. Pendeknya segala bentuk harta tidak langsung musnah ketika diambil manfaatnya, barang tersebut dapat diwakafkan.
Dan sesuai dengan hal itu, maka di masa kini kita mengenal istilah wakaf dalam bentuk uang tunai. Bentuk dan mekanismenya bisa bermacam-macam, antara lain:
a. Wakaf tunai dengan tujuan membeli benda yang bermanfaat
Bentuknya adalah seseorang mengeluarkan uang untuk membeli benda-benda yang bermanfaat, namun benda yang tidak langsung habis. Lalu benda yang bermanfaat itu dimanfaatkan oleh banyak orang. Tentunya manfaat itu melahirkan pahala yang akan diberikan kepada pihak yang berwakaf.
Misalnya, kepada orang-orang ditawarkan surat tanah/sertifikat tanah wakaf yang besarannya seluas 1 meter persegi dengan harga Rp 100.000, -. Sertifikat ini jumlahnya banyak, mungkin sampai puluhan ribu lembar. Masyarakat lalu ditawarkan untuk membelinya mulai dari 1 lembar sampai ribuan lembar.
Mereka yang membeli lembaran ini terhitung sudah berwakaf atas tanah, yang mungkin di atasnya didirikan masjid, perpustakaan, kampus, rumah yatim atau apapun yang mendatangkan manfaat.
Bahkan mungkin saja untuk dibangun di atasnya pabrik atau pusat usaha, di mana hasilnya akan diberikan untuk membantu fakir miskin. atau untuk kepentingan pendidikan, penyediaan lapangan kerja dan sebagainya.
b. Wakaf tunai dalam bentuk uang yang dipinjamkan
Bentuk kedua adalah wakaf dalam bentuk uang tunai untuk dipinjamkan kepada proyek-proyek amal. Sering diistilah dengan temporary wakaf deposits in loan basic.
Bentuknya, orang yang berwakaf membayar sejumlah uang untuk dipinjamkan kepada pihak yang membutuhkan, dengan kewajiban untuk mengembalikannya sesuai dengan jatuh temponya, tentunya tanpa bunga sedikit pun.
Misalnya, uang itu untuk modal membangun sekolah, lalu diperhitungkan bahwa akan ada pemasukan dari bayaran sekolah. Nantinya, uang itu dikembalikan lagi kepada pewakaf atau pengelola wakaf untuk bisa digunakan lagi untuk dipinjamkan kepada pihak lain yang membutuhkan. Dan begitu seterusnya.
Peminjaman ini tentunya melahirkan pahala yang dikirim kepada pihak yang memberi wakaf.
c. Wakaf Tunai dalam Bentuk Investasi
Bentuk ini mirip dengan di atas, namun pinjamannya untuk para pengusaha. Sering juga disebut temporary wakaf deposits in investment basic.
Bentuknya, pewakaf mengeluarkan uang lalu diinvestaskan dalam beragam jenis usaha halal. Keuntungan atau bagi hasil dari usaha yang rutin tiap bulan atau tiap tahun itulah yang dialokasikan untuk semua bentuk kebaikan, misalnya memberi makan orang miskin, bea siswa calon ulama, atau semua keperluan umat.
Dari semua dana yang dialokasikan dari hasil keuntungan itulah dilahirkan pahala yang terus menerus mengalir kepada pewakafnya.
2. Amal dan Pahala untuk yang Sudah Wafat
Rasulullah SAW benar ketika bersabda bahwa amal setiap anak Adam sudah terputus bila meninggal, kecuali tiga hal. Namun hadits itu tidak menafikan dimungkinkannya orang yang sudah meninggal mendapat manfaat dari amal orang lain yang masih hidup.
Maka adanya doa dari seorang anak, atau dari siapapun yang muslim, yang ditujukan demi kebaikan mayit di kuburnya, merupakan bukti bahwa meski amalnya sudah putus, namun pintu untuk mendapatkan manfaat dari orang yang masih hidup tidak pernah tertutup.
Diriwayatkan oleh 'Aisyah ra. bahwa ia bertanya kepada Nabi SAW, "Bagaimana pendapatmu kalau saya memohonkan ampun untuk ahli kubur?" Rasul SAW menjawab, "Ucapkan: (salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada ahli kubur baik mu'min maupun muslim dan semoga Allah memberikan rahmat kepada generasi pendahulu dan generasi mendatang dan sesungguhnya -insya Allah- kami pasti menyusul)." (HR Muslim).
Dari Ustman bin 'Affan ra berkata, "Adalah Nabi SAW apabila selesai menguburkan mayyit beliau berdiri lalu bersabda, "Mohonkan ampun untuk saudaramu dan mintalah keteguhan hati untuknya, karena sekarang dia sedang ditanya." (HR Abu Dawud)
Demikian juga shalat jenazah yang dilakukan oleh orang banyak, semuanya tidak lain demi memberi manfaat kepada mayit di dalam kuburnya. Kalau tidak ada manfaatnya, buat apa diperintahkan dan disyariatkan?
Dari Auf bin Malik ia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah SAW - setelah selesai shalat jenazah bersabda, "Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan air es dan air embun, bersihkanlah dari segala kesalahan sebagaimana kain putih bersih dari kotoran, gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya dan peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka." (HR Muslim).
Dan semua dalil tentang adanya badal haji dengan niat untuk orang yang sudah wafat, semakin menegaskan adanya manfaat buat mayit dari orang yang masih hidup. Termasuk dalil diperintahkannya puasa yang dilakukan seseorang untuk menutup hutang puasa orang tuanya.
Dari Ibnu Abbas ra. bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi SAW dan bertanya, "Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya melakukah haji untuknya?" Rasul menjawab, "Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya? Bayarlah hutang Allah, karena hutang Allah lebih berhak untuk dibayar." (HR Bukhari)
Bahkan pelunasan hutang mayit oleh ahli warisnya, juga akan mendinginkan api di dalam kuburnya.
Abu Qotadah telah menjamin untuk membayar hutang seorang mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia telah membayarnya nabi SAW bersabda, "Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya." (HR Ahmad)
Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada di tempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW untuk bertanya, "Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya?" Rasul SAW menjawab, "Ya." Saad berkata, "Saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya." (HR Bukhari)
Semua dalil di atas akan menggiring kita kepada satu kesimpulan, bahwa meski seseorang sudah wafat, namun tidak pernah tertutup kemungkinan baginya untuk mendapatkan manfaat dari apa yang dikerjakan oleh mereka yang masih hidup. Asalkan orang itu punya iman dan terhitung sebagai muslim.
Pendapat yang Tidak Setuju
Memang ada ayat Quran yang bisa ditafsirkan bahwa seorang tidak akan menerima pahala dari orang lain. Sehingga ada kalangan yang berpendapat bahwa pahala tidak akan sampai kepada orang yang sudah mati.
Bahwa seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwa seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (QS. An-Najm:38-39)
Namun para ulama berbeda dalam memahaminya. Mereka mengatakan bahwa ayat ini tidak berarti menafikan kemungkinan seseorang mendapat manfaat dari usaha orang lain yang diberikan atas dasar kasih sayang dan cinta. Termasuk doa dari mereka yang masih hidup.
Ayat ini hanya mengingatkan bahwa janganlah terlalu berharap dari pertolongan orang lain, atau kiriman doa dan pahala dari orang yang masih hidup. Tetapi beribadahlah dengan sungguh-sungguh. Karena pertolongan dari orang lain belum tentu menjamin.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabaraktuh,
Ahmad Sarwat, Lc.

http://www.rumahfiqih.com






Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Insya Allah tahun ini saya dan istri akan berangkat ke tanah suci melaksanakan ibadah haji. Kami sudah ikut pelajaran manasik haji. Tetapi ada beberapa pertanyaan mendasar yang belum terjawab saat kami ikuti pelajaran.

Jadi kami coba meminta ustadz untuk menjawab pertanyaan kami yang paling dasar. Apa yang dimaksud dengan haji Qiran, Ifrad dan Tamattu'? Yang manakah yang dikerjakan oleh Rasulullah SAW?

Demikian pertanyaan kami, semoga ustadz berkenan menjawabnya dan kami doakan semoga Allah SWT yang membalas semuanya. Amin

Wassalam



Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Perbedaan Qiran, Ifrad dan Tamattu'

Inti dari perbedaan antara ketiga jenis haji ini adalah pada pelaksanaan ibadah umrah terkait dengan ibadah haji. Ada yang satu ibadah diniatkan umarh dan haji sekaligus, namanya qiran. Ada yang hanya diniatan ibadah haji saja tanpa umrah, dan disebut ifrad. Dan ada yang dikerjakan sendiri-sendiri, umrah dulu lalu tinggal di Mekkah. Kemudian pada waktunya baru mengerjakan haji.

Lebih rincinya sebagai berikut :

1. Haji Qiran

Haji Qiran adalah haji yang dilakukan seseorang dimana ketika berihram dengan umrah pada bulan-bulan haji, kemudian memasukkan haji ke dalamnya sebelum tawaf.

Maka seseorang dikatakan melaksanakan haji dengan cara qiran adalah manakala dia melakukan ibadah haji dan umrah digabung dalam satu niat dan gerakan secara bersamaan, sejak mulai dari berihram.

Dengan kata lain, ketika memulai dari miqat dan berniat untuk berihram, niatnya adalah niat berhaji dan sekaligus juga niat berumrah. Kedua ibadah yang berbeda, yaitu haji dan umrah, digabung dalam satu praktek amal.  Dalam peribahasa kita sering diungkapkan dengan ungkapan, sambil menyelam minum air.

2. Haji Ifrad

Dari segi bahasa, kata Ifrad adalah bentuk mashdar dari akar kata afrada (
أفرد) yang bermakna menjadikan sesuatu itu sendirian, atau memisahkan sesuatu yang bergabung menjadi sendiri-sendiri.
Ifrad ini secara bahasa adalah lawan dari dari qiran yang berarti menggabungkan. Dalam istilah ibadah haji, Ifrad berarti memisahkan antara ritual ibadah haji dari ibadah umrah. Sehingga ibadah haji yang dikerjakan tidak ada tercampur atau bersamaan dengan ibadah umrah.
Sederhananya, orang yang berhaji dengan cara Ifrad adalah orang yang hanya mengerjakan ibadah haji saja tanpa ibadah umrah.
Kalau orang yang berhaji Ifrad ini melakukan umrah, bisa saja, tetapi setelah selesai semua rangkaian ibadah haji.

3. Tamattu'
Istilah Tamattu’ berasal dari al-mata' (المتاع) yang artinya kesenangan. Dan kata tamattu’ artinya bersenang-senang.
Dalam prakteknya, Haji Tamattu’ itu adalah berangkat ke tanah suci di dalam bulan haji, lalu berihram dari miqat dengan niat melakukan ibadah umrah, bukan haji, lalu sesampai di Mekkah, menyelesaikan ihram dan berdiam di kota Mekkah bersenang-senang, sambil menunggu datangnya hari Arafah untuk kemudian melakukan ritual haji.
Jadi Haji Tamattu’ itu memisahkan antara ritual umrah dan ritual haji. Datang ke tanah suci dengan niat umrah, lalu bertahallul dan tinggal sementara di Mekkah sebagaimana umumnya penduduk Mekkah. Selama tinggal di Mekkah ini tidak dalam keadaan berihram. Jadi tidak berlaku berbagai ketentuan yang mengharamkan ini dan itu. Makanya disebut tamattu' alias bersenang-senang.
Dan nanti begitu menjelang tanggal 8 atau 9, barulah mulai berhaji dengan berihram dari hotel masing-masing di Mekkah.
Sekilas antara Tamattu’ dan Ifrad memang agak sama, yaitu sama-sama memisahkan antara ritual haji dan umrah. Tetapi sesungguhnya keduanya amat berbeda.

Dalam Haji Tamattu’, jamaah haji melakukan umrah dan haji, hanya urutannya mengerjakan umrah dulu baru haji, dimana di antara keduanya bersenang-senang karena tidak terikat dengan aturan berihram. Sedangkan dalam Haji Ifrad, jamaah haji melakukan ibadah haji saja, tidak mengerjakan umrah.

Selesai mengerjakan ritual haji sudah bisa langsung pulang. Walau pun seandainya setelah selesai semua ritual haji lalu ingin mengisi kekosongan dengan mengerjakan ritual umrah, boleh-boleh saja, tetapi syaratnya asalkan setelah semua ritual haji selesai.

B. Mana Yang Dikerjakan Rasulullah SAW
Umumnya para ulama berbeda pendapat tentang manakah jenis haji yang dikerjakan oleh Rasululah SAW. Ada yang bilang beliau mengerjakan Qiran, ada yang bilang Ifrad dan ada juga yang mengatakan beliau melaksanakan Tamattu'. Tetapi yang jelas, dalam seumur hidup beliau hanya sekali saja mengerjakan ibadah haji.
Oleh karena itulah maka kita menemukan tiga pendapat yang berbeda tentang manakah yang lebih utama dari ketiga jenis haji itu.

1. Lebih Utama Ifrad
Mazhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah berpendapat bahwa yang lebih utama adalah haji dengan cara Ifrad. Pendapat mereka ini juga didukung oleh pendapat Umar bin Al-Khattab, Utsman bin Al-Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Jabir bin Abdillah ridwanullahialahim ajma’in. Selain itu juga didukung oleh pendapat dari Al-Auza’i dan Abu Tsaur.
Dasarnya menurut mereka antara lain karena Haji Ifrad ini lebih berat untuk dikerjakan, maka jadinya lebih utama. Selain itu dalam pandangan mereka, haji yang Rasulullah SAW kerjakan adalah Haji Ifrad.

2. Lebih Utama Qiran
Mazhab Al-Hanafiyah berpendapat bahwa yang lebih utama untuk dikerjakan adalah Haji Qiran. Pendapat ini juga didukung oleh pendapat ulama lainnya seperti Sufyan Ats-Tsauri, Al-Muzani dari kalangan ulama Mazhab Asy-Syafi’iyah, Ibnul Mundzir, dan juga Abu Ishaq Al-Marwadzi.
Dalil yang mendasari pendapat mereka adalah hadits berikut ini :
أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتٍ مِنْ رَبِّي فَقَال : صَل فِي هَذَا الْوَادِي الْمُبَارَكِ وَقُل : عُمْرَةٌ فِي حَجَّةٍ
Telah diutus kepadaku utusan dari Tuhanku pada suatu malam dan utusan itu berkata,”Shalatlah di lembah yang diberkahi ini dan katakan,”Umrah di dalam Haji”. (HR. Bukhari)
Hadits ini menegaskan bahwa awalnya Rasulullah SAW berhaji dengan cara Ifrad, namun setelah turun perintah ini, maka beliau diminta berbalik langkah, untuk menjadi Haji Qiran.
Dan adanya perintah untuk mengubah dari Ifrad menjadi Qiran tentu karena Qiran lebih utama, setidaknya itulah dasar argumen para pendukung pendapat ini.

3. Lebih Utama Tamattu’
Mazhab Al-Hanabilah berpendapat bahwa yang paling baik dan paling utama untuk dikerjakan justru Haji Tamattu’. Setelah itu baru Haji Ifrad dan terakhir adalah Haji Qiran.
Di antara para shahabat yang diriwayatkan berpendapat bahwa Haji Tamattu’ lebih utama antara lain adalah Ibnu Umar, Ibnu Al-Abbas, Ibnu Az-Zubair, Aisyah ridhwanullahi’alaihim. Sedangkan dari kalangan para ulama berikutnya antara lain Al-Hasan, ’Atha’, Thawus, Mujahid, Jabir bin Zaid, Al-Qasim, Salim, dan Ikrimah.
Pendapat ini sesungguhnya adalah satu versi dari dua versi pendapat Mazhab Asy-Syafi’iyah. Artinya, pendapat Mazhab Asy-Syafi’iyah dalam hal ini terpecah, sebagian mendukung Qiran dan sebagian mendukung Tamattu’.
Di antara dasar argumen untuk memilih Haji Tamattu’ lebih utama antara lain karena cara ini yang paling ringan dan memudahkan buat jamaah haji.

Maka timbul lagi pertanyaan menarik, kenapa untuk menetapkan mana yang lebih afdhal saja, para ulama masih berbeda pendapat? Apakah tidak ada dalil yang qath’i atau tegas tentang hal ini?

Jawabannya memang perbedaan pendapat itu dipicu oleh karena tidak ada nash yang secara langsung menyebutkan tentang mana yang lebih utama, baik dalil Al-Quran mau pun dalil As-Sunnah. Sehingga tetap saja menyisakan ruang untuk berbeda pendapat.
Dan hal itu ’diperparah’ lagi dengan kenyataan bahwa tidak ada hadits yang secara tegas menyebutkan bahwa Rasulullah SAW berhaji dengan Ifrad, Qiran atau Tamattu’. Kalau pun ada yang bilang bahwa beliau SAW berhaji Ifrad, Qiran atau Tamattu’, sebenarnya bukan berdasarkan teks hadits itu sendiri, melainkan merupakan kesimpulan yang datang dari versi penafsiran masing-masing ulama saja. Dan tentu saja semua kesimpulan itu masih bisa diperdebatkan.

Walhasil, buat kita yang awam, sebenarnya tidak perlu ikut-ikutan perdebatan yang nyaris tidak ada manfaatnya ini, apalagi kalau diiringi dengan sikap yang kurang baik, seperti merendahkan, mencemooh, menghina bahkan saling meledek dengan dasar yang masih merupakan perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Sikap yang paling elegan adalah menerima kenyataan bahwa semuanya bisa saja menjadi lebih afdhal bagi masing-masing orang dengan masing-masing keadaan dan kondisi yang boleh jadi tiap orang pasti punya perbedaan.

Sikap saling menghormati dan saling menghagai justru menjadi ciri khas para ulama, meski mereka saling berbeda pandangan. Kalau sesama para ulama masih bisa saling menghargai, kenapa kita yang bukan ulama malah merasa paling pintar dan dengan tega menjelek-jelekkan sesama saudara dalam Islam, untuk sebuah masalah yang memang halal kita berbeda pendapat di dalamnya?
Sesungguhnya kebenaran itu milik Allah semata.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA 

http://www.rumahfiqih.com

Video

[Yours_Label_Name][video]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.