Poster film "Fetih 1453" (Wikipedia)
ikadikobar.blogspot.com - “Kota
Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya
adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya
adalah sebaik-baik pasukan.”
Demikianlah hadits yang
diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal, sebuah kalimat yang diucapkan oleh
Rasulullah SAW di abad ke-7. Pancaran optimisme yang luar biasa dari
beliau di saat kaum muslimin masih belum bebas bergerak di seputar
jazirah Arab. Namun kemantapan hati bahwa agama ini akan berkembang
pesat dan luas itu sangat menenangkan para sahabat.
Membayangkan
masuknya Islam hingga ke jantung sebuah negara adidaya, mungkin setara
dengan mengatakan bahwa nantinya Gedung Putih akan menjadi salah satu
icon
peradaban muslim. Nyaris tak tergambarkan. Namun keimanan kepada
Rasulullah adalah satu syarat mutlak seorang mukmin, maka setiap benak
yang ada pada para sahabat pun bertekad kuat untuk mewujudkannya. Semua
berdoa, memohon kepada Allah SWT bahwa ia-lah yang dimaksud dalam hadits
tersebut. Sebaik-baik pemimpin, sebaik-baik pasukan. Subhanallah.
Film
“Fetih 1453“ buatan Turki yang disutradari Faruk Aksoy ini diluncurkan
serentak di berbagai belahan dunia pada tanggal 16 Februari 2012. Momen
diriwayatkannya hadits tersebut dijadikan pembuka alur cerita, sekaligus
mengisyaratkan bahwa keseluruhan visualisasi yang disajikan adalah
bentuk adaptasi dari kisah nyata yang terjadi ratusan tahun silam. Saat
itu, tentara kesultanan Usmani di bawah komando langsung dari sang
Sultan Muhammad II mampu menaklukkan kota dengan pertahanan terbaik di
dunia, yakni Konstantinopel.
Dengan menjual predikat kepahlawanan
yang “based on true story“, tentu saja beban yang dibawa oleh film ini
cukup berat. Namun bagaimana pun, yang hadir di gedung bioskop dan
menyaksikan film ini dapat dikategorikan setidaknya satu dari empat
tipe: (1) penikmat sejarah, (2) pendamba hiburan Islami, (3) pengamat
film, atau (4) penonton biasa yang “nothing to lose“.
Faruk Aksoy, sutradara Fetih 1453 (IMDb)
Bagi
penonton tipe pertama, hadirnya bumbu dalam ceritera yang disuguhkan
tidaklah terlalu penting. Yang harus diperhatikan adalah tahun,
kejadian, kutipan, serta visualisasi. Semisal, bagaimana dalam “Fetih
1453” Selat Bosphorus ditampilkan terpagari oleh rantai besar yang dapat
menghalangi kapal-kapal perang untuk melaluinya. Atau, momen di mana
meriam besar berukuran 8 meter itu dibuat kemudian ditarik oleh ratusan
orang dan puluhan kerbau ke medan laga. Jika unsur-unsur ini terpenuhi,
yang lain sedikit-banyak boleh diabaikan.
Berbeda dengan itu,
penonton tipe kedua akan lebih cenderung pada karakter di dalam film
yang disaksikan. Apabila terjadi penggambaran yang keliru pada tokoh
kunci, maka nilai tontonan itu akan menurun di hadapannya. Memang
mustahil mendapatkan protagonis yang terlalu sempurna, namun ada harapan
besar bahwa ciri-ciri utama yang ada dalam benaknya, dapat terpenuhi.
Tipe
ketiga lebih cenderung menjadi observer. Pada umumnya, sepanjang film
ia “sibuk” melakukan komparasi dengan film lain atau menganalisa
logis-tidaknya alur cerita yang disajikan. Untuk film perang kolosal
yang berlandaskan kisah nyata, perbandingan yang “apple-to-apple“ antara
lain bisa diambil dari Kingdom of Heaven (dibintangi oleh Orlando Bloom
& Liam Neeson), Braveheart (Mel Gibson), atau Troy (Brad Pitt &
Eric Bana). Juga sedikit banyak film seperti Hero (Jet Li & Donnie
Yen).
Sedangkan tipe keempat atau terakhir biasanya tidak terlalu
mempermasalahkan apa pun, namun mendambakan sebuah alur cerita yang utuh
serta tidak membingungkan. Umumnya menyukai humor ringan, kejutan kecil
atau adegan yang heroik, sesuai tipe film yang ditonton. Kalimat
saktinya “tidak apa-apa melenceng dari sejarah, sosok aslinya atau agak
tidak masuk akal, asal enak ditonton”. Dan justru tipe inilah yang
mayoritas di antara para penonton bioskop.
Jika Anda penonton tipe pertama, maka
mungkin Anda akan temukan adanya berbagai hal yang cukup memenuhi
standar di film “Fetih 1453“. Pencantuman bulan dan tahun yang cukup
cermat di awal beberapa peristiwa kunci, juga beberapa hari penting
dalam peperangan. Beberapa penggambaran tentang perang yang terjadi pun
dapat dianggap sesuai dengan beberapa ilustrasi yang ada di berbagai
sumber.
Sultan Muhammad II (Mehmed II) yang diperankan oleh Devrim
Evin juga mampu memuat sosok tegas yang memancarkan tekad bulat untuk
menaklukkan Konstantinopel. Beberapa karakter penting seperti Ulubatli
Hasan (meski sebagian orang menyatakan ini adalah tokoh fiktif),
Giustiniani (pimpinan pasukan khusus penjaga benteng Konstantinopel), Ak
Syamsuddin (guru dari Mehmed II) hingga raja Konstantin XI juga mampu
membangun nuansa sejarah yang padu. Juga penggambaran kota dan
bangunan-bangunan yang ada pada masa itu, cukup realistis.
Kelemahan
yang ada, umumnya adalah kompensasi akan kebutuhan dramatisasi. Salah
satu contoh adalah bagaimana karakter Urban, seorang insinyur yang
merancang meriam raksasa, digambarkan menolak permintaan pembuatan
Konstantin XI dan kemudian terancam dibunuh namun berhasil diselamatkan
oleh Hasan. Yang “agak parah” adalah hadirnya seorang perempuan bernama
Era dengan status anak angkat Urban. Namun sekali lagi, ini kebutuhan
alur cerita untuk penonton tipe keempat.
Pasukan Usmani dan meriam-meriam kecilnya bersiap menyerang Konstantinopel (trthaber)
Jika Anda penonton tipe kedua,
di
satu sisi mungkin Anda akan berbahagia dengan hadirnya film ini. Sebuah
alternatif di luar tipikal film Hollywood yang hadir dari sebuah negeri
mayoritas muslim. Tetapi hendaknya ekspektasi Anda tidak perlu terlalu
tinggi. Untuk keseluruhan film, kemungkinan besar Anda akan puas. Namun
menyikapi berbagai penggambaran atas karakter-karakter yang ada dalam
film tersebut, memang mau tidak mau masih ada bias dengan sejumlah
tontonan yang banyak beredar.
Tidak ada manusia yang sempurna,
mungkin itu pesan yang ingin ditampilkan. Namun, saat berbagai sumber
menyebutkan bahwa Sultan Muhammad II tidak pernah sekalipun meninggalkan
shalat wajib, sunnah rawatib hingga tahajjud, Anda mungkin akan kecewa
mendapati bahwa sang permaisuri beliau Mukrima Khatun (di dalam film
menggunakan nama Gulbahar Hatun, namun jelas dikisahkan bahwa ia adalah
ibu dari Bayazid II), digambarkan tidak berhijab. Gelengan kepala Anda
juga akan makin lebar saat melihat kesibukan sang ibu negara di
sepanjang film nyaris hanya bersolek saja. Ya, begitulah adanya film
tersebut.
Juga, pengaruh Hollywood nampaknya tidak bisa lepas
dengan mudah. Masih ada saja pernik-pernik yang cukup mengganggu,
semisal kisah asmara antara Hasan dan Era. Mengingat Hasan dikenang
sebagai pahlawan besar perang tersebut (yang pasukannya adalah
sebaik-baik pasukan) sedangkan Era adalah tokoh fiktif, jelaslah bahwa
ini sekedar mengakomodir keinginan untuk menampilkan alur cerita yang
dramatis.
Jika Anda penonton tipe ketiga, bisa jadi
pertama-tama yang Anda bayangkan adalah bagaimana film ini menampilkan
sebuah ciri khas, di luar berbagai tontonan yang pernah beredar.
Mampukah perfilman Turki menampilkan kualitas film yang sejajar dengan
Hollywood, Eropa atau Asia Timur? Standar yang terlalu tinggi memang,
namun setidaknya harapan itu masih ada.
Membandingkan dengan
film-film lain yang bersesuaian tema, maka di berbagai momen Anda akan
melihat sedikit duplikasi Kingdom of Heaven saat pasukan Usmani berusaha
memanjat tembok benteng. Dari sudut pandang sejarah memang demikianlah
situasinya, namun Anda mungkin berharap bisa melihat versi yang agak
berbeda. Juga, adegan meluncurnya ribuan panah yang visualisasinya masih
(sedikit) di bawah Hero. Atau adegan negosiasi antara Muhammad II dan
Konstantin XI yang penggambaran umumnya tidak jauh berbeda dengan Troy.
Tanpa mengatakan film ini kurang kreatif, namun tanpa sengaja pikiran
Anda akan lari ke sana jika pernah menyaksikan film-film tersebut.
Lagi-lagi
menyoal dramatisasi, Anda akan menemukan bahwa hubungan emosional yang
coba dibentuk melalui karakter Era agak “maksa”. Setelah menolak lamaran
Giustiniani yang merupakan jenderal pertahanan Konstantinopel, Era
pulang ke rumah ayah angkatnya (Urban sang insinyur meriam), dan
kemudian menjalin hubungan dengan Hasan yang merupakan pimpinan pasukan
khusus Usmani. Saya sempat menebak, di suatu bagian dari film akan
digambarkan pertarungan satu lawan satu antara Hasan dan Giustiniani.
Dan dengan dinyana, ternyata tebakan saya benar.
Adegan 1 lawan 1 antara Hasan & Giustiniani (haberler)
Jika Anda penonton tipe keempat, maka
Andalah yang berusaha dimanjakan oleh film ini. Banyaknya adegan
kekerasan seperti – maaf – tangan atau kaki terpotong, leher tertembus
tombak, dsb mungkin cukup seru bagi penggemar film action. Karena adegan
semacam itu cukup signifikan, film ini dikategorikan FSK-16 di Jerman
(tempat saya menontonnya), yang berarti terlarang bagi anak berusia di
bawah 16 tahun.
Penggemar drama? Hadirlah rentetan bumbu yang
berkisar di seputar romantika para tokohnya. Hanya bumbu, karena
seandainya pun adegan-adegan itu tidak ada, jalan cerita tidaklah
terpengaruh besar. Atau malah sama sekali nggak ngefek. Barangkali sikap
Sultan Muhammad II yang dingin dan tidak sekalipun bersedia tersenyum
kepada anak dan istrinya sebelum Konstantinopel takluk membuat Anda
terbawa, atau bisa juga penggambaran sang raja yang frustrasi menjadi
titik di mana Anda tersentuh. Walau mungkin, Anda juga akan merasa
jengkel dengan sikap Konstantin XI yang digambarkan berfoya-foya di
banyak adegan. Ya, selamat mencari kesesuaian dengan apa yang Anda
harapkan.
Nah… apakah film ini layak tonton? Insya Allah,
iya. Ada perspektif baru yang bisa ditambahkan pada memori Anda, yakni
film asing yang digagas dan dibuat oleh dunia Islam. Situs rujukan film
IMDb, saat tulisan ini dibuat, telah merangkum lebih dari 16.000 votes
dengan nilai rata-rata 8.4 yang berarti sangat tinggi. Memang itu bukan
patokan satu-satunya, namun sedikit-banyak angka tersebut bisa
memberikan gambaran bagi kita.
Saya sarankan, jika nantinya
bioskop di Indonesia memutarnya, saksikan bersama orang-orang yang
sedikit banyak sudah mengetahui bagaimana peperangan dan tokoh-tokoh
kunci yang ada di film ini. Syukur-syukur lagi kalau ada yang bisa
membuat intisari dari berbagai hikmah yang tersedia, apakah itu dari
sisi Islam, motivasi, dunia perfilman, atau sekedar hiburan. Tapi tentu
saja itu bukan sebuah keharusan, melainkan sekedar rekomendasi.
Film
ini hanya tersedia dalam bahasa Turki. Umumnya bioskop-bioskop Jerman
memutar film asing yang sudah melalui proses dubbing, tapi “Fetih 1453”
ditayangkan hanya dengan subtitle bahasa lokal. Bisa jadi karena cukup
banyak orang berkebangsaan atau keturunan Turki di Jerman sini.
Jadi,
kapan ditayangkan di Indonesia? Entahlah… jika Anda tahu, ayo beri
informasi melalui komentar Anda di bawah, terlepas dari Anda sudah
menonton atau belum. Semoga tulisan ini dan apa pun pendapat Anda
tentang film “Fetih 1453″ bisa bermanfaat bagi kita semua… amin.
Abu
Qubail menuturkan dari Abdullah bin Amr bin Ash, “Suatu ketika kami
sedang menulis di sisi Rasulullah SAW, tiba-tiba beliau ditanya, `Mana
yang terkalahkan lebih dahulu, Konstantinopel atau Romawi?´ Beliau
menjawab, `Kota Heraklius-lah yang akan terkalahkan lebih
dulu.’ Maksudnya adalah Konstantinopel.” (HR. Ahmad, Ad-Darimi, Al-Hakim)