Bidadari-Bidadari Surga yang Disegerakan
ikadikobar.blogspot.com- Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda: “Selalu
wasiatkan kebaikan kepada para wanita. Karena mereka diciptakan dari
tulang rusuk, dan bagian yang paling bengkok dari jalinan tulang rusuk
ialah tulang rusuk bagian atas. Jika kalian paksa diri untuk
meluruskannya, ia akan patah. Tetapi jika kalian mendiamkannya, ia akan
tetap bengkok. Karena itu, wasiatkanlah kebaikan kepada para wanita.” (HR. Al-Bukhari)
Wanita
adalah sebuah maha karya Allah. Dibalik kelembutannya ada kekuatan yang
dapat menggerakkan sebuah laju peradaban. Islam dengan segala
kemuliaannya telah berhasil meletakkan dengan ideal posisi kaum wanita
dalam gempita kehidupan. Dan fakta sejarah pun mengungkapnya dengan
elok, bahwa di setiap keberhasilan orang-orang besar selalu ada
wanita-wanita kuat di belakangnya. Tapi, tidak semua wanita berkenan
menempati posisi-posisi itu. Dengan hadirnya racun-racun demokrasi,
omong kosong HAM atau bualan feminisme, wanita telah kehilangan
karakter-karakter dasar kemanusiaannya. Fungsi-fungsi wanita telah
terdistorsi dari letak fitrahnya.
Namun, di tengah kerusakan
pemahaman yang semakin kuat, ada sebagian wanita yang tetap menjunjung
tinggi martabat mereka. Memelihara nilai-nilai kefitrahan mereka sebagai
seorang hamba. Pengorbanan dan perjuangan telah menjadikan para
wanita-wanita ini bak bidadari-bidadari surga yang Allah segerakan
kehadirannya. Inilah wanita-wanita yang membuat resah para
bidadari-bidadari Surga karena kemuliaannya. Menerbitkan cemburu di ufuk
hati para bidadari Surga.
1. Ibu: Oase Cinta Yang Takkan Kering
“Makan malamlah bersama Ibumu hingga ia senang.
Hal itu lebih aku senangi daripada haji sunnah yang kamu kerjakan.”
(Al-Hasan bin Amr Rahimahullahu)
Hijrah
bukan semata keputusan ideologis-teologis, lebih jauh hijrah adalah
sebuah keputusan psikologis, terlebih dalam konteks di saat kita dalam
posisi seorang anak. Dan hal inilah yang dirasakan oleh seorang sahabat
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash Radhiyallahu ‘Anhu seorang lelaki mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Aku
berjanji setia kepadamu wahai Rasulullah untuk berhijrah. Tetapi aku
meninggalkan orang tuaku dalam keadaan terus menangis.” Ucap lelaki itu. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Pulanglah kepada keduanya. Buatlah keduanya tertawa, sebagaimana kau telah membuatnya menangis.” (HR. Muslim)
Ibu,
adalah representasi bidadari surga yang paling terang. Hatinya adalah
oase cinta kehidupan yang menyejukkan, airnya bening dan tak pernah
menemui kekeringan. Kasih sayang dan pelukannya adalah hembus angin
kedamaian. Jasa-jasanya takkan pernah dapat terbilang, sekalipun dengan
formula-formula canggih matematika atau fisika modern.
Imam Bukhari dalam Shahih Al Adabul Mufrad No.9 meriwayatkan dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, bahwa suatu hari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma
melihat seorang menggendong Ibunya untuk tawaf di Ka’bah dan ke mana
saja sang Ibu menginginkan. Kemudian orang tersebut bertanya, “Wahai Abdullah bin Umar, dengan perbuatanku ini apakah aku sudah membalas jasa ibuku?”, “Belum, setetes pun engkau belum dapat membalas kebaikan kedua orang tuamu” Jawab Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma.
Pada kisah lain yang diceritakan Abul Faraj Rahimahullahu. Sesungguhnya seorang laki-laki datang kepada Umar lalu berkata, “Sesungguhnya
aku mempunyai ibu yang sudah tua renta. Dia tidak menunaikan
keperluannya kecuali punggungku yang menjadi tanggungannya. Apakah aku
sudah membuatnya ridha dan bisa berpaling darinya? Apakah aku sudah
menunaikan kewajiban kepadanya?” Umar Radhiyallahu ‘Anhu menjawab, “Belum”. “Bukankah aku telah membawanya dengan punggungku dan aku merelakan hal itu untuknya.” tukas lelaki itu. “Tapi,
dia telah melakukannya dan dia berharap agar engkau hidup dan tetap
berada di pangkuannya. Sebaliknya, engkau melakukannya dan berharap
untuk segera berpisah dengannya,” tegas Umar Radhiyallahu ‘Anhu, sehingga membuat orang itu tak lagi sanggup mengeluarkan kata-kata.
Sebesar apapun pengorbanan yang kita berikan pada Ibu, se-zarah
pun tak akan dapat menggantikan pengorbanan yang diberikan ibu kepada
kita. Dengan memahami bahwa bakti dan pengorbanan kita tak akan pernah
bisa membalas kebaikan ibu, semoga bisa menyadarkan kita untuk selalu
memahami dan menyelami keinginannya.
Di dunia ini, tak akan pernah
kita temukan cinta kasih seindah cinta kasih seorang Ibu. Tentang hal
ini dengan apik Imam Adz Dzahabi rahimahullahu menguraikan, “Ibumu
telah mengandungmu di dalam perutnya selama sembilan bulan yang serasa
sembilan tahun. Dia bersusah payah ketika melahirkanmu yang hampir saja
menghilangkan nyawanya. Dia telah menyusuimu dengan air susunya, dan ia
hilangkan rasa kantuknya karena menjagamu. Dia bersihkan kotoranmu
dengan tangan kanannya, dia utamakan dirimu atas dirinya serta atas
makanannya. Dia jadikan pangkuannya sebagai ayunan bagimu. Dia telah
memberikanmu semua kebaikan, dan apabila kamu sakit atau mengeluh tampak
darinya kesusahan yang luar biasa dan kesedihan yang panjang. Dia
keluarkan harta untuk membayar dokter yang mengobatimu, dan seandainya
dipilih antara hidupmu dan kematiannya, maka ia akan meminta supaya kamu
hidup dengan suara yang paling keras. Betapa banyak kebaikan ibu,
sedangkan engkau balas dengan akhlaq yang tidak baik. Dia selalu
mendoakanmu agar mendapat petunjuk, baik di dalam sunyi maupun ditempat
terbuka. Tatkala ibumu membutuhkanmu di saat dia sudah tua renta, engkau
jadikan dia sebagai barang yang tidak berharga di sisimu. Engkau
kenyang dalam keadaan dia lapar. Engkau puas dalam keadaan ia haus.
Engkau mendahulukan berbuat baik kepada istri dan anakmu dari pada
ibumu. Engkau lupakan semua kebaikan yang pernah dia perbuat. Begitu
berat rasanya bagimu memeliharanya, padahal itu urusan yang mudah…”
Ibu,
benar-benar bidadari Surga yang Allah turunkan dengan segera. Maka,
sampaikanlah kepadanya betapa kita mencintainya, dan berterima kasihlah
atas seluruh hidup yang telah dan akan diberikannya kepada kita. Semoga
Allah mengampuni dosanya, memberkahi usianya, dan mengumpulkan kita
kembali dalam surgaNya.
Ibu, Poros Awal Peradaban
“Karir terbaik seorang wanita adalah menjadi ibu rumah tangga” (Mario Teguh)
Anak
yang unggul hanya akan lahir dari ibu yang unggul. Maka, sudah
semestinya tidak layak lagi ada pandangan bahwa menjadi Ibu rumah tangga
adalah sebuah tindakan pengekangan bagi para wanita untuk mengembangkan
potensi-potensinya. Adalah para penganut feminisme, menggugat secara
serampangan pembagian wilayah tanggung jawab antara kaum pria dan
wanita. Para feminis beranggapan wilayah kerja wanita yang lebih
cenderung pada ranah private adalah bentuk ketidakadilan
terhadap kaum wanita. Lebih jauh mereka beranggapan melalui
keikutsertaan wanita pada ranah publik dapat meningkatkan kualitas dan
kapasitas kaum wanita. Benarkah demikian?
Saya selalu ingat apa yang dikatakan ibu saya, “Perempuan bagiannya di rumah, sedang laki-laki di luar rumah.” Sepintas terdengar sangat diskriminatif. Tapi, makin lama saya makin paham bahwa inilah yang dimaksud Job Descpription. Layaknya sebuah organisasi, keluarga pun mutlak memiliki job description.
Dan hal yang harus kita pahami adalah tidak ada yang menjamin seorang
yang memiliki wilayah kerja di sektor publik akan memiliki kemuliaan dan
kualitas lebih baik dari seorang ibu yang memiliki wilayah
tanggungjawab pada sektor privat. Karena semua kemuliaan mutlak hanya
akan dipetik dari ketaqwaan dan ketaatan pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semoga kita dapat renungkan apa yang difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam QS. An-Nisaa’ ayat 32, “Dan
janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada
sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi
orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan
bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan
mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.”
Ibu, sebagai seorang ‘manajer’
rumah tangga adalah sebuah entitas terpenting dalam konteks pembentukan
sebuah generasi. Tanpa seorang ibu yang berkualitas takkan lahir para
manusia-manusia berkualitas. Ibulah, madrasah peradaban yang paling
awal. Dari para ibulah cetak biru sebuah poros peradaban ditentukan.
Kesungguhan para ibu men-tarbiyah keturunannya adalah langkah
nyata rekonsiliasi sebuah bangsa. Dan kerja-kerja macam ini, bahkan para
bidadari surga pun belum tentu mampu melakukannya. Dengan kesungguhan
inilah, bahkan para bidadari pun akan mencemburuinya.
2. Wanita Shalihah: Pesona Di atas Pesona
Ia mutiara terindah dunia
Bunga terharum sepanjang masa
Ada cahaya di wajahnya, Betapa indah pesonanya
Bidadari bermata jeli pun cemburu padanya
Kelak, ia menjadi bidadari surga, Terindah dari yang ada
Bunga terharum sepanjang masa
Ada cahaya di wajahnya, Betapa indah pesonanya
Bidadari bermata jeli pun cemburu padanya
Kelak, ia menjadi bidadari surga, Terindah dari yang ada
(Hanan)
Ya,
bidadari surga yang Allah segerakan berikutnya adalah wanita shalihah.
Konteks tulisan ini sama sekali bukan tentang fisik. Kita hanya akan
membahas hal-hal substansial yang bernama kesalehan. Untuk itu, cukuplah
dialog penuh ‘ibrah antara Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang didokumentasikan oleh Imam Ath-Thabrani sebagai pecut penyemangat, pengobar ruh kesalehan.
Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha berkata, “Wahai Rasulullah, Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jelaskanlah kepadaku firman Subhanahu wa Ta’ala tentang bidadari-bidadari yang bermata jelita.” (QS. Ad-Dukhan: 54) Beliau menjawab, “Bidadari yang kulitnya putih, matanya jeli dan lebar, rambutnya berkilau seperti sayap burung nasar.”
Aku berkata lagi, “Jelaskan kepadaku tentang firman Allah, “Laksana mutiara yang tersimpan baik.” (Al-Waqi’ah: 23) Beliau menjawab, “Kebeningannya seperti kebeningan mutiara di kedalaman lautan, tidak pernah tersentuh tangan manusia.”
Aku berkata lagi, “Wahai Rasulullah, jelaskan kepadaku firman Allah, “Di dalam surga-surga itu ada bidadari-bidadari yang baik-baik lagi cantik-cantik.” (Ar-Rahman: 70) Beliau menjawab, “Akhlaqnya baik dan wajahnya cantik jelita.”
Aku berkata lagi, “Jelaskan kepadaku firman Allah, “Seakan-akan mereka adalah telur (burung onta) yang tersimpan dengan baik.” (Ash-Shaffat: 49) Beliau menjawab, “Kelembutannya
seperti kelembutan kulit yang ada di bagian dalam telur dan terlindung
kulit telur bagian luar, atau yang biasa disebut putih telur.”
Aku berkata lagi, “Wahai Rasulullah, jelaskan kepadaku firman Allah, Penuh cinta lagi sebaya umurnya” (Al-Waqi’ah: 37) Beliau menjawab, “Mereka
adalah wanita-wanita yang meninggal di dunia pada usia lanjut, dalam
keadaan rabun dan beruban. Itulah yang dijadikan Allah tatkala mereka
sudah tahu, lalu Dia menjadikan mereka sebagai wanita-wanita gadis,
penuh cinta, bergairah, mengasihi dan umurnya sebaya.”
Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, manakah yang lebih utama, wanita dunia ataukah bidadari yang bermata jeli” Beliau menjawab, “Wanita-wanita
dunia lebih utama daripada bidadari-bidadari yang bermata jeli, seperti
kelebihan apa yang tampak daripada apa yang tidak tampak.”
Aku bertanya, “Karena apa wanita dunia lebih utama daripada mereka?” Beliau menjawab, “Karena
shalat mereka, puasa dan ibadah mereka kepada Allah. Allah meletakkan
cahaya di wajah mereka, tubuh mereka adalah kain sutera, kulitnya putih
bersih, pakaiannya berwarna hijau, perhiasannya kekuning-kuningan,
sanggulnya mutiara dan sisirnya terbuat dari emas. Mereka berkata, “Kami
hidup abadi dan tidak mati, kami lemah lembut dan tidak jahat sama
sekali, kami selalu mendampingi dan tidak beranjak sama sekali, kami
ridha dan tidak pernah bersungut-sungut sama sekali. Berbahagialah orang
yang memiliki kami dan kami memilikinya.”
Aku berkata, “Wahai
Rasulullah, salah seorang wanita di antara kami pernah menikah dengan
dua, tiga, atau empat laki-laki lalu meninggal dunia. Dia masuk surga
dan mereka pun masuk surga pula. Siapakah di antara laki-laki itu yang
akan menjadi suaminya di surga? Beliau menjawab, “Wahai Ummu
Salamah, wanita itu disuruh memilih, lalu dia pun memilih siapa di
antara mereka yang akhlaqnya paling bagus, lalu dia berkata, “Wahai
Rabb-ku, sesungguhnya lelaki inilah yang paling baik akhlaqnya tatkala
hidup bersamaku di dunia. Maka nikahkanlah aku dengannya”. Wahai Ummu
Salamah, akhlaq yang baik itu akan pergi membawa dua kebaikan, dunia dan
akhirat.”
Keshalihan dan akhlaq baiklah sumber kemuliaan, semoga kita dapat meraihnya. Amiin.