Alhamdulillah, dua hari terakhir kemarin tiba juga saya ke pengungsian sementara saudara-saudara Rohingya di Aceh Utara. Begitu tiba di bumi Serambi Mekkah ini kami langsung menuju kamp pengungsi di Kuala Langsa dan Kuala Cangkoy, Aceh Utara. Sebagai personil yang mengawal satu divisi yang menangani strategi dan eksekusi kreatif berbagai materi komunikasi ACT, mendapati kesempatan seperti ini terasa demikian mewah bagi saya. Akhirnya, ada ‘rehat’ dari hari-hari sibuk brainstorming, berjibaku di studio desain dan audio visual, serta memonitor konten dan aktivitas akun-akun media sosial yang seolah tak pernah berhenti.
Pergi mengunjungi langsung saudara-saudara Rohingya, melalui perjalanan darat 7 jam dari Kota Medan ini membuat perasaan saya campur-baur. Sebab saya sudah mengikuti kisah sedih warga Rohingya sejak 2012 silam, saat saya masih menjadi praktisi kreatif di sebuah agensi periklanan. Saya tak habis pikir, saat sahabat-sahabat di ACT menceritakan kisah etnis paling teraniaya di negerinya sendiri, yang sebenarnya tak jauh dari Indonesia ini. Tiba di Pelabuhan Kuala Langsa, dimana Posko ACT berada, ada pemandangan menarik di gerbang pelabuhan. Mobil terhenti lantaran terjadi antrian panjang mobil-mobil pribadi, truk bak terbuka, dan puluhan motor warga setempat tampak mengular.
Yang paling menarik perhatian saya adalah warga lokal yang berdatangan dengan motor ingin masuk ke lokasi pengungsian. Warga Aceh Utara saja ingin melihat saudara-saudara mereka dari Rohingya, apalagi saya. Para pengungsi ini memang seperti magnet. Tapi sayang, hari itu sudah keluar ketentuan kalau warga tak bisa lagi masuk ke dalam area pelabuhan. Walau mungkin kecewa karena itikad baik mereka bersilaturrahim dengan pengungsi tak terwujud, semua berjalan tertib. Ah, beda banget dengan Jakarta dengan segala dramanya. Yang jelas salah aja bisa ngotot luar biasa.
Perasaan campur-baur ini perlahan hilang berganti dengan perasaan senang demi melihat langsung para pengungsi yang sudah di depan mata. Wajah-wajah pria dewasa Rohingya yang rata-rata berkulit hitam manis dan bermata besar itu tampak berbinar. Salam tak pernah henti terucap dari bibir-bibir mereka setiap kali bertatapan dengan kami. Di kamp ada yang tengah asyik bermain sepakbola, dan sebagian lainnya duduk-duduk menikmati suasana.
Alhamdulillah, saya selalu merasa doa mereka tak berjarak dari ridha-Nya. Bahkan menerima dan membalas salam mereka juga berarti mengumpulkan doa keselamatan dan keberkahan bagi diri saya. Senyum kini menghias bibir mereka. Sangat jauh berbeda dengan foto-foto saat mereka histeris berteriak meminta tolong dari kapal-kapal kayu yang hampir tenggelam di perairan Aceh Timur dan Utara yang pernah saya lihat.
Dekat Posko ACT, tampak anak-anak usia balita bermain di mini-playground. Ternyata tak semua anak-anak itu bersama ibu dan ayahnya. Sebagian orangtua mereka terbunuh di negerinya atau terdampar di negara lain tanpa kabar berita serta tak sedikit pula yang wafat saat berbulan lamanya terombang-ambing di tengah lautan karena kehausan, kelaparan atau menahan sakit tanpa pengobatan. Entah bagaimana anak-anak ini bisa bertahan. Membayangkan terik matahari di lautan memanggang tubuh mereka, dan dinginnya malam di tengah lautan terbuka, saya bergidik. Tapi di Kuala Langsa ini anak-anak itu mulai menampakkan senyumnya walau masih malu-malu. Pun saya; setengah terharu, setengahnya lagi masih terlalu kaku karena sudah lama tak turun ke lapangan. Saya ingin sekali menggendong dan memeluk anak-anak itu. Tapi entahlah, pada pertemuan pertama ini saya hanya sanggup menjabat dan membelai rambut kemerahan di kepala mereka. Waktu yang mepet karena masih harus mengejar waktu menuju Lhokseumawe malam itu, saya sedikit menyesali perjumpaan yang singkat dengan anak-anak kecil kuat itu.
Pagi hari usai, memasuki Jum’at berkah dan usai briefing pembangunan Integrated Community Shelter ICS) bagi pengungsi, saya berdoa diberi-Nya kesempatan kedua. Dan kesempatan kedua itu hadir di sore harinya, usai meninjau lokasi shelter di Gampong Blang Adoe, memenuhi undangan siaran di RRI Lhokseumawe, silaturahim dengan Sekretaris Daerah Kabupaten Aceh Utara dan salat jum’at serta kembali briefing sambil makan siang. Saya kembali menengok kamp pengungsian, kali ini di Kuala Cangkoy. Satu lokasi di tepi pantai yang permai dimana 332 pengungsi Rohingya sementara ditampung.
Di sini juga banyak terdapat anak-anak. Mulai usia bayi, balita hingga remaja. Kali ini saya benar-benar menikmati ngobrol, bermain dan menikmati waktu ceria bersama anak-anak hebat yang ditakdirkan Allah SWT bertahan hidup melewati segala kesulitan dan bisa hadir di hadapan kami. Iba juga melihat anak-anak ini; banyak yang masih mengalami sakit kulit (tampak di bagian kepala), ada juga yang mengalami luka di punggung yang masih dalam perawatan. Tapi tampaknya mereka tak mau melihat saya menye-menye, saya malah dikerubungi, digelendoti bahkan beberapa terus minta digendong dan dipeluk.
Anak-anak ini ternyata seru banget. Satu anak perempuan yang masih berusia 16 bulan tak mau melepaskan pelukannya, bahkan saat sebagian dari kami sudah berada di dalam mobil untuk kembali ke posko utama di Kota Lhokseumawe. Saya melambai pada mereka dari balik kaca. Memupuk harap bisa bertemu lagi, insyaAllah di shelter yang lebih nyaman dan layak untuk mereka huni dalam waktu panjang. Hingga kelak mereka mampu mandiri, tak hanya menemukan tapi sudah meyakini dan mewujudkan harapan mereka untuk bersinar kembali.
Hingga dini hari kala saya merampungkan tulisan ini, pelukan demi pelukan anak-anak Rohingya itu masih terasa. Dan saya rasa takkan pernah hilang dampaknya. Kemanusiaan hanya dapat dihidupkan melalui perbuatan. Bukan teori dan ucapan belaka. Bagi sobat yang pesimis, atau skeptis, silakan buktikan sendiri. Hadirlah diantara mereka yang mungkin belum pernah merasakan hidup bebas dari rasa takut sebelumnya.
Mengalirlah bersama arus kebahagiaan mereka. Puaskan hati dengan berbuat yang terbaik, sebaik-baik yang bisa kita berikan. Temukan nyamannya hati menatap senyuman mereka, sebagaimana menemukan janji Ilahi Rabbi bahwa jika kita melepaskan satu kesulitan hidup mereka, maka akan terlepas pula kesulitan kita di saat tiada yang mampu melepaskan segala kesusahan kita. Kala menyelamatkan satu jiwa sama nilainya dengan menyelamatkan seluruh umat manusia.
Pelukan-pelukan anak-anak Rohingya ini selamanya jadi penyemangat di dunia, dan semoga jadi penyelamat kelak di akhirat bagi saya, serta sobat semua. InsyaAllah...aamiin yaa Robbal ‘alaamiin.
(Nurman Priatna | Creative Strategic Communication Director – ACT Foundation)
Posting Komentar