Mengarungi samudra kehidupan
Kita ibarat para pengembara
Hidup ini adalah perjuangan
Tiada masa ‘tuk berpangku tangan
Setiap tetes peluh dan darah
Tak akan sirna ditelan masa
Segores luka di jalan Allah
Kan menjadi saksi pengorbanan
Allahu ghayatuna
Ar-Rasul qudwatuna
Al-Qur’an dusturuna
Al-Jihadu sabiluna
Al-Mautu fii sabilillah asma amanina
Allah adalah tujuan kami
Rasulullah teladan kami
Al-Qur’an pedoman hidup kami
Jihad adalah jalan juang kami
Mati di jalan Allah adalah, cita-cita kami tertinggi
(Shoutul Harokah: Bingkai Kehidupan)
Ilustrasi. (inet)
ikadikobar.blogspot.com -Secuplik
nasyid harakah ini disinggung oleh Ust. Natsir Harist dalam taujihnya
yang bertemakan: Menjadi Muslim Militan dan Shalih. Menjadi seorang
muslim tentu saja adalah sebuah kebaikan luar biasa yang tidak ternilai
harganya, namun hal itu tidaklah cukup. Maka berusaha menjadi muslim
yang shalih adalah sebuah kebutuhan khusus bagi diri sendiri agar diri
ini bisa dekat dengan Allah Ta’ala, penciptanya. Keshalihan pun
senantiasa akan meluas dan mendewasa seiring kebersamaannya dengan
ibadah-ibadah sunnah dan wajib yang senantiasa selalu dihidupkannya.
Hingga pada akhirnya keshalihan itu meningkat derajatnya dan meluas
radiusnya. Tak hanya shalih untuk diri sendiri, namun juga keshalihan
yang membumi, menyebar luas, berderak, menghinggapi sendi-sendi
kehidupan di sekeliling muslim tersebut.
Namun sayangnya,
lagi-lagi menjadi muslim saja atau bahkan menjadi muslim yang shalih
tidaklah cukup, meskipun kita tidak menafikan bahwa perjuangan seseorang
menjadi muslim saja terkadang mengancam nyawa, pula perjuangan
seseorang menuju keshalihan bukanlah barang sepele serupa membalikkan
telapak tangan. Tidak, kita sama sekali tidak ingin menafikan hal
tersebut. Akan tetapi, sekarang mari kita tengok sedikit ke belakang, ke
kisah paling mulia yang pernah ditorehkan dalam sejarah umat manusia,
sirah Rasul Muhammad saw.
Kemunculan Islam dari awal mulanya,
perjuangan Islam dengan dakwah sembunyi-sembunyinya, perkabaran Islam
secara terang-terangan, berbagai perang yang hampir-hampir merontokkan
segala pertahanan, hingga akhirnya kemenangan gemilang yang menjadi buah
perjuangan yang lebih dari hanya sekadar berbilang.
Siapakah
mereka penggerak roda dakwah Islam di awal mulanya? Abu Bakr? ‘Umar bin
Khattab? ‘Utsman bin Affan? ‘Ali bin Abi Thalib? Hamzah? Zaid bin
Haritsah? Arkom bin Abi Arkom? Bukankah mereka muslim yang shalih? Jika
pertanyaannya demikian maka jawabannya akan sangat jelas, “Ya!” mereka
adalah muslim-muslim yang shalih. Namun, apakah hanya berhenti di sana,
hanya berhenti pada keshalihan semata?
Bukankah Abu Bakar adalah
orang yang membenarkan perjalanan Rasulullah saw dari Masjidil Haram ke
Masjidil Aqsha dalam waktu semalam, ketika penduduk-penduduk Mekah
mencaci beliau? Bukankah ‘Umar yang menantang seluruh penghuni Mekah di
balik bukit ketika ia akan pergi berhijrah ke Madinah? Bukankah ‘Utsman
yang dengan mudahnya berinfak sepuluh ribu dinar (setara Rp. 8.5 Milyar)
untuk pasukan ‘usrah yang tengah membutuhkan bantuan? Bukankah ‘Ali
yang dengan beraninya menggantikan Rasulullah saw saat kaum Quraisy
hendak membunuh Rasulullah dengan mengepung rumah beliau? Betapa besar
kerja-kerja mereka untuk Islam, betapa mulia ‘izzah mereka untuk Islam.
Maka, hal apakah yang mereka miliki hingga apa-apa yang mereka lakukan
selalu yang terbaik untuk agama ini? Militansi yang kuatlah jawabannya.
Mereka adalah orang-orang muslim yang shalih, yang sangat takut kepada
Tuhannya, sangat cinta kepada Rasul-Nya, sangat baik akhlak dan
perangainya, serta merekalah orang-orang yang sangat tinggi militansi
perjuangannya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, militan
berarti bersemangat tinggi dan penuh gairah. Maka tidak menjadi hal yang
mustahil Islam mampu mencapai masa kejayaannya karena pada saat itu
para penggerak dakwahnya adalah orang-orang yang bersemangat tinggi dan
penuh gairah dalam menyeru manusia kepada Allah ‘azza wa jalla.
***
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
Apakah
manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami
telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? (Al-Ankabut: 2).
Jihad
adalah bukti militansi. Muslim yang berjihad haruslah bertaqwa dan
senantiasa berbaris rapi dan teratur seakan seperti bangunan yang kokoh.
Bangunan yang kokoh tidaklah mudah dihancurkan.
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُم بُنْيَانٌ مَّرْصُوصٌ ﴿٤﴾
Sesungguhnya
Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang
teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh
(Ash-Shaff: 4)
Muslim yang militan haruslah menjaga
hubungannya dengan Allah dan tentu saja dengan manusia. Dalam bergaul
dengan manusia kita harus mampu memperkenalkan kebaikan kita dan
mengenali kebaikan mereka. Ta’aruf bukanlah mencari ‘aib sesama muslim,
pun jika ditemukan keburukannya, maka tidak boleh ghibah.
Barangsiapa
melihat kemungkaran yang dilakukan oleh muslimin, maka ubah dengan
tangan, jika tidak bisa nasihati saudara kita untuk meluruskan kesalahan
yang telah dilakukannya, jika masih belum berhasil juga, maka mohonkan
ampun kepada Allah atas kesalahannya.
Ciri-ciri muslim yang shalih dan militan, seperti yang diungkapkan oleh Ust. Natsir Harits, adalah:
1.
Hatinya hidup, mau mendengar ayat-ayat Allah dan apabila disebutkan
nama Allah, bergetar hatinya. Karena Allah adalah yang Maha Besar, maka
pantaslah ketika nama-Nya disebut bergetar hati, dan bertambahlah
keimanan ini. Hati seorang muslim yang militan dan shalih dihidupkan
oleh dzikir yang senantiasa ia lakukan saat berdiri, duduk, maupun
berbaring.
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا
وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا
سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ﴿١٩١﴾
(yaitu) orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan
sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali-Imran: 191)
2.
Dekat dengan Al-Qur’an, meskipun sesibuk apapun. Karena Al-Qur’an
adalah dzikir terbaik serta Allah sudah menjamin kemudahan keseluruhan
isi Al-Qur’an. Membaca Al-Qur’an haruslah dimulai dengan keimanan di
hati, sehingga ketika dibacakan kepadanya bertambah imannya.
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍ ﴿١٧﴾
Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran? (Al-Qamar: 17).
3.
Kepada Tuhannya ia selalu bertawakal. Tidak pernah menyandarkan kepada
kemampuannya. Sepenuhnya tawakal kepada Allah swt. Persiapan sangat
penting akan tetapi itu tetap saja sepenuhnya hanya kepada Allah-lah
bertawakal.
قُلْ إِنَّمَا يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَهَلْ أَنتُم مُّسْلِمُونَ ﴿١٠٨﴾
Katakanlah: “Sesungguhnya yang diwahyukan kepadaku adalah: “Bahwasanya Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa. Maka hendaklah kamu berserah diri (kepada-Nya).” (Al-Anbiya: 108)
4.
Suka beribadah, yaitu ibadah-ibadah mahdhah, salah satunya adalah
shalat. Selain menyempurnakan yang wajib juga senantiasa menghidupkan
shalat-shalat sunnah. Seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah
saw, beliau senantiasa menjaga shalat dua shalat sunnah entah dalam
keadaan safar maupun mukim, yaitu shalat witir dan shalat qabliyah
subuh.
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ ﴿٢٣٨﴾
Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’. (QS. Al-Baqarah: 238)
5.
Senang dan mudah berinfak. Seorang muslim yang shalih dan militan
sangat mudah berinfak dari apa-apa yang ia cintai karena ada sebuah
kesadaran yang tinggi bahwa di setiap hartanya ada bagian untuk
orang-orang miskin.
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ ﴿١٩﴾
Dan
pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan
orang miskin yang tidak mendapat bagian. (Adz-Dzariyat: 19)
6.
Tetap pergi berjihad, ringan maupun berat. Jihad di sini adalah
al-qital (perang). Akan tetapi, muslim yang shalih dan militan
mengetahui jihad dengan perang bukanlah menjadi dasar gerakan. Dasar
gerakannya adalah kelembutan, dialog, dakwah, dan debat dengan cara yang
terbaik. Namun, jika akhirnya belum berhasil juga dan bahkan
membahayakan umat muslim maka berperang menjadi kewajiban
انفِرُوا
خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿٤١﴾
Berangkatlah
kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah
kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah
lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (At-Taubah: 41)
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ ﴿١٩٠﴾
Dan
perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi)
janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas. (Al-Baqarah: 190).
7. Para
nabi berjuang bersama rabbaniyyun. Rabbaniyyun ini tidaklah tersedia
seketika, melainkan membutuhkan tahapan-tahapan yang perlu dilakukan,
yaitu: perekrutan, pembinaan, dan dakwah. Binaan para nabi ini selalu
mau berjuang di jalan Allah juga, mereka selalu berusaha merekrut yang
lainnya untuk pada akhirnya bersama-sama berbaris di jalan Allah.
Berjuangnya para nabi (murabbi) senantiasa bersama dengan para binaannya
(mutarabbi).
وَكَأَيِّن مِّن نَّبِيٍّ قَاتَلَ
مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ
الصَّابِرِينَ ﴿١٤٦﴾
Dan berapa banyaknya nabi yang berperang
bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertaqwa.
Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan
Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah
menyukai orang-orang yang sabar. (QS. Ali-Imran: 146)
8.
Berani mati dan berani setengah mati. Terkadang ada umat muslim yang
berani mati di jalan Allah, namun ketika ia setengah mati –dalam artian
bisa jadi memiliki cacat tubuh atau keburukan fisik disebabkan jihad di
jalan Allah– ia kecewa, menggerutu, dan bahkan putus asa terhadap
karunia Allah. Akan tetapi, seorang muslim yang shalih dan militan ia
akan tetap ridha dan ikhlas dengan itu semua, karena ia meyakini:
segores luka di jalan Allah, kan menjadi saksi pengorbanan.
يَا
بُنَيَّ إِنَّهَا إِن تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُن فِي
صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ ۚ
إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ ﴿١٦﴾
(Luqman berkata): “Hai
anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan
berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan
mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui. (QS. Luqman: 16)
9.
Berharap syahid di jalan Allah. Jika kita ingat kisah Khalid bin Walid,
betapa besar pengharapannya syahid di jalan Allah. Tak pernah sedikit
pun ia berpikir akan kembali ke rumah setelah berjihad di jalan Allah.
Pernah dalam salah satu perang, sebagai komandan ia memerintahkan
seluruh pasukannya mundur, agar ia bisa maju sendiri ke medan perang dan
menjemput syahid. Namun, Allah berkehendak lain, majunya Khalid justru
membuat musuh-musuhnya tunggang-langgang hingga Khalid belum juga
berjumpa syahid di medan jihad.
قُلْ هَلْ
تَرَبَّصُونَ بِنَا إِلَّا إِحْدَى الْحُسْنَيَيْنِ ۖ وَنَحْنُ نَتَرَبَّصُ
بِكُمْ أَن يُصِيبَكُمُ اللَّهُ بِعَذَابٍ مِّنْ عِندِهِ أَوْ
بِأَيْدِينَا ۖ فَتَرَبَّصُوا إِنَّا مَعَكُم مُّتَرَبِّصُونَ ﴿٥٢﴾
Katakanlah: “tidak ada yang kamu tunggu-tunggu bagi kami, kecuali salah satu dari dua kebaikan (kemenangan atau mati syahid). Dan
Kami menunggu-nunggu bagi kamu bahwa Allah akan menimpakan kepadamu
azab (yang besar) dari sisi-Nya. Sebab itu tunggulah, sesungguhnya kami
menunggu-nunggu bersamamu.” (QS. At-Taubah: 52)
10. Meminta
izin kepada orang tuanya ketika akan pergi berjihad di jalan Allah.
Betapapun orang tuanya adalah orang yang sering bermaksiat bahkan
menyekutukan Allah, namun seorang muslim yang shalih dan militan akan
senantiasa menghormati mereka.
وَوَصَّيْنَا
الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ
وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ
الْمَصِيرُ ﴿١٤﴾
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat
baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam
keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.
Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Kulah kembalimu. (QS. Luqman: 14)
Itulah
mengapa kejayaan Islam di masa silam bukanlah hal yang mustahil karena
memang aktor-aktor utama penggerak dakwahnya adalah mereka-mereka yang
shalih dan militan, dua hal yang sebenarnya tidak bisa dipisahkan antara
satu dengan yang lainnya. Lalu di mana posisi kita sekarang?
Wallahu a’lam.