- Kategori : Entrepreneurship
- Oleh : Muhaimin Iqbal
ikadikobar.blogspot.com - Di dunia personal finance dikenal apa yang disebut 70/30 rule,
yaitu bila Anda mampu mengkonsumsi hanya 70 % dari pendapatan Anda dan
sisanya 30 % ditabung – maka Anda akan memiliki hari tua yang baik.
Orang-orang di negara maju pada umumnya lebih bisa mengimplementasikan rule ini
karena pendapatannya memang cukup, di negara-negara yang sedang
berkembang seperti kita – rule ini masih sulit diterapkan oleh
setidaknya dua sebab.
Penyebab pertama adalah pseudo-wealth euphoria
atau eforia kemakmuran semu, ini terjadi di seluruh tingkatan ekonomi
masyarakat. Seorang pekerja rumah tangga yang baru datang dari kampung
dan mulai bekerja di Jakarta, begitu merasa mendapatkan penghasilan
cukup – yang dibeli pertama adalah handphone. Sepertiga penghasilannya
untuk mencicil handphone dan sepertiga lagi dihabiskan untuk membeli
pulsanya, maka sulit sekali terangkat kemakmurannya.
Fenomena
yang tidak jauh berbeda adalah di kelompok menengahnya. Begitu mereka
mendapatkan pekerjaan yang baik dan dengan pendapatan yang baik pula,
mereka berlomba membeli mobil dengan nilai maksimal yang mereka bisa
beli. Sampai-sampai perbankan dan lembaga pembiayaan-pun membuat aturan
dalam kreditnya, yaitu nilai cicilan maksimal 1/3 dari gaji karyawan
yang membeli mobil secara cicilan tersebut.
Mobil
dan handphone sesungguhnya bukan hanya mengkonsumsi 1/3 pendapatan.
Biaya untuk pemeliharaan, bahan bakar, asuransi dan perilaku konsumtif
yang terbawa setelah orang membeli mobil untuk kelas menengah atau
handphone untuk kelas bawah – meskipun kelihatannya membuat pemiliknya
menjadi makmur, sesungguhnya justru memiskinkan – inilah yang disebut
kemakmuran semu itu.
Penyebab
kedua adalah inflasi. Kalau toh 70/30 rule tersebut Anda terapkan dan
Anda berhasil menyisihkan untuk ditabung 30% dari pendapatan Anda, dalam
bentuk tabungan, deposito, asuransi dlsb. Tidak ada jaminan bahwa hari
tua Anda akan makmur. Mengapa ?, karena tabungan Anda akan beradu cepat
pertumbuhannya dengan angka inflasi.
Penyebab
kedua ini berlaku di negara berkembang seperti kita maupun di
negara-negara maju sekalipun, walhasil statistik di negara maju tidak
jauh berbeda dengan statistik di negara berkembang bahwa kurang lebih 9
dari 10 pegawai tidak siap untuk pensiun pada waktunya.
Lantas apa solusi terbaik bagi kita ?, solusi terbaik itu datang dari contoh terbaik – uswatun hasanah, yang juga pernah saya tulis di situs ini empat tahun lalu. Kali ini saya akan perjelas dengan contoh aplikasinya.
Contoh ini saya ambilkan dari kitab Riyadus Shalihin-nya Imam Nawawi, yang mebahas sebuah hadits panjang berikut :
Dari
Abu Hurairah RA, dari nabi SAW, beliau bersabda, “ Pada suatu hari
seorang laki-laki berjalan-jalan di tanah lapang, lantas mendengar suara
dari awan :” Hujanilah kebun Fulan.” (suara tersebut bukan dari suara
jin atau manusia, tapi dari sebagian malaikat). Lantas awan itu berjalan
di ufuk langit, lantas menuangkan airnya di tanah yang berbatu hitam.
Tiba-tiba parit itu penuh dengan air. Laki-laki itu meneliti air (dia
ikuti ke mana air itu berjalan). Lantas dia melihat laki-laki yang
sedang berdiri di kebunnya. Dia memindahkan air dengan sekopnya.
Laki-laki (yang berjalan tadi) bertanya kepada pemilik kebun : “wahai
Abdullah (hamba Allah), siapakah namamu ?”, pemilik kebun menjawab:
“Fulan- (yaitu nama yang dia dengar di awan tadi)”. Pemilik kebun
bertanya: “Wahai hambah Allah, mengapa engkau bertanya tentang namaku
?”. Dia menjawab, “ Sesungguhnya aku mendengar suara di awan yang inilah
airnya. Suara itu menyatakan : Siramlah kebun Fulan – namamu-. Apa yang
engkau lakukan terhadap kebun ini ?”. Pemilik kebun menjawab :”Bila
kamu berkata demikian, sesungguhnya aku menggunakan hasilnya untuk
bersedekah sepertiganya. Aku dan keluargaku memakan daripadanya
sepertiganya, dan yang sepertiganya kukembalikan ke sini (sebagai modal
penanamannya)”. (HR. Muslim).
Maka dengan hadits tersebut di atas ternyata 1/3 rule atau saya sebut prinsip 1/3 -lah yang lebih cocok untuk kita, bukan 70/30 rule.
Bila kita mampu menerapkan prinsip 1/3 ini – yaitu 1/3 pendapatan kita
konsumsi, 1/3 pendapatan untuk bersedeqah dan 1/3-nya lagi untuk
investasi – maka insyaallah akan turun ‘hujan khusus’ untuk kita-kita.
1/3
yang kita investasikan akan memakmurkan kita dan orang lain di dunia
ini, dan kombinasi dari 1/3 yang menciptakan lapangan kerja ini dengan
1/3 yang disedeqahkan insyaallah akan membawa keberkahan untuk bekal
akhirat kita.
Teorikah ini ?, mungkinkah kita terapkan ?. Setiap kali saya membahas prinsip 1/3 ini, pertanyaan yang selalu muncul adalah – “bagaimana pak kita bisa hidup hanya dengan 1/3 ?, lha wong dengan 100%nya saja tidak cukup ?”.
Inilah
yang memang harus dibudayakan, yang mengaku tidak cukup tersebut dia
sesungguhnya mampu menggunakan uangnya untuk membeli handphone dan
pulsanya. Mampu mengkridit motor dan membiayai operasinya, mampu
mengkredit mobil beserta perawatan dan biaya operasinya dst.dst.
Maka
bila prioritas itu diubah, pos biaya yang konsumtif yang tidak
perlu-perlu benar dipindahkan sebagian untuk sedekah dan sebagian untuk
investasi produktif –insyaAllah prinsip 1/3 tersebut bisa dijalankan
oleh siapapun yang mampu membeli handphone, mengkredit motor atau mobil.
Hari-hari
ini saya sedang berbicara intensif dengan rekan-rekan di perbankan.
Bagaimana kalau mereka secara bertahap mengurangi kredit konsumsinya dan
menggantinya dengan pembiayaan usaha yang produktif. Program seperti
KUR (Kredit Usaha Rakyat) yang berbiaya rendah dan jaminan juga rendah –
bisa diperluas targetnya.
Bila
selama ini KUR diarahkan untuk para pemilik usaha yang sudah jalan
dengan SIUP, TDP dlsb, bagaimana kalau pembiayaan KUR ini berlaku juga
untuk menggiring para pegawai yang ancang-ancang untuk pindah kwadran ?.
Mereka belum punya usaha sendiri, jadi jelas belum punya SIUP, TDP
dlsb. Tetapi mereka selama ini mampu membayar cicilan mobilnya yang
berharga ratusan juta, mengapa tidak dengan cicilan untuk investasi
produktif ?.
Pihak
bank akan lebih aman karena selama pegawai tersebut masih bekerja –
jaminan pembayaran itu datang dari penghasilannya. Begitu usahanya
jalan, si pegawai benar-benar melompat ke kwadran entrepreneur – jaminan
pengembalian itu datang dari hasil usahanya.
Lha
siapa yang menjalankan usaha si pegawai selama mereka belum terjun
sendiri ?, pihak bank bisa memilih dan mengawasi pihak-pihak
professional sebagai mitranya untuk mengelola usaha si pegawai yang
calon pengusaha itu.
Untuk
industri pertanian/perkebunan misalnya, program KKP kita – Kepemilikan
Kebun Produktif bisa menjadi arena pembelajaran yang menarik untuk semua
pihak. Si pegawai calon pengusaha bisa belajar berkebun yang baik –
sambil tetap bekerja sampai dia merasa comfortable untuk terjun dan mengelolanya sendiri. Karena
disamping penghasilannya dari bekerja, dia berpotensi mendapatkan
penghasilan pula dari usahanya, maka dia insyaallah bisa lebih
berkesempatan untuk bersedeqah yang 1/3 tersebut di atas. Untuk
sementara waktu (5 tahun pertama) dari usaha berkebunnya dapat
diserahkan ke kami untuk kami kelola bersama-sama dengan kebun lainnya.
Pihak
bank bisa menyalurkan kredit produktif dengan aman – karena dikelola
secara professional sejak kredit produktif tersebut keluar, aman pula
pengembaliannya karena dijamin oleh penghasilan si pegawai awalnya dan
baru setelah jelas hasilnya – dibayar dari hasil usaha yang di danai
investasinya tersebut.
Bila
skema ini berjalan secara massal, maka akan ada perubahan paradigma di
masyarakat, yaitu yang selama ini rame-rame kredit motor, kredit mobil –
akan berubah menjadi investasi produktif yang menciptakan lapangan
kerja dan memakmurkan para pelakunya dunia akhirat – karena
diterapkannya prinsip 1/3 dari hadits tersebut di atas. InsyaAllah.
Posting Komentar