Dari Embargo Ke Organic …
- Kategori : Entrepreneurship
- Oleh : Muhaimin Iqbal
ikadikobar.blogspot.com Sekitar
50 tahun lalu suatu negeri pulau kecil mulai diembargo oleh negeri
terkaya di dunia yang hanya berbatas laut dengannya. Negeri pulau kecil
ini adalah Cuba dan yang memimpin embargo adalah salah satu tetangga
terdekatnya yaitu Amerika Serikat. Setelah hampir setengah abad negeri
yang diembargo itu hidup dalam segala keterbatasan, kini negeri yang
memimpin embargo itu dan juga negeri-negeri lain mulai berbalik
mengambil pelajaran darinya.
Hampir
tiga dekade sejak diembargo, untuk memenuhi kebutuhan negerinya Cuba
menggantungkan diri pada perdagangan bersubsidi dari negeri-negeri blok
timur dibawah pimpinan USSR. Tetapi USSR sendiri runtuh pada tahun 1991,
yang membuat kondisi Cuba tambah runyam.
Paska
keruntuhan USSR, ekonomi Cuba ikut mengkerut sampai 35 % . Sejalan
dengan pengkerutan ekonomi yang luar biasa ini, kelaparan meluas di
seluruh negeri. Konsumsi rata-rata penduduk turun sekitar 1/3 nya dari
rata-rata 3,052 kalori/hari sebelum
keruntuhan USSR menjadi tinggal 2,099 kalori/hari pasca keruntuhan.
Padahal jumlah kalori minimum agar orang tidak sampai kelaparan adalah
2,100 – 2,300 kalori/hari, maka saat itu boleh dibilang secara nasional
Cuba menjadi negeri yang kelaparan.
Mengapa
tiga dekade Cuba bisa survive tetapi tiba-tiba kelaparan bersamaan
dengan runtuhnya USSR ?, inilah pelajaran pertamanya yaitu karena Cuba
terlalu bergantung pada impor – kususnya impor minyak dari USSR dan
negeri-negeri blok timur lainnya. Saat itu impor minyak Cuba turun dari
14 juta ton /tahun menjadi tinggal sekitar 4 juta ton/tahun.
Dampak
dari penurunan supply minyak ini, giliran listrik mati bisa mencapai 16
jam per hari. Transportasi tidak bisa berjalan, mesin-mesin produksi
dan pertanian berhenti karena semua tidak mendapatkan bahan bakarnya
secara cukup.
Tetapi
dari sinilah pelajaran kedua muncul, yaitu janji Allah bahwa semua
makhluk hidup mendapatkan jatah rezekinya (QS 11 :6) – tidak terkecuali
penduduk di negeri yang tidak mengenal Tuhan sekalipun seperti Cuba ini.
Setelah tiga dekade bergantung pada import bersubsidi dari negeri
komunis, satu dekade import dan subsidinya negeri se blok menghilang,
maka satu dekade terakhir bukti bahwa rezeki tersedia cukup bagi semua
makhluk itu begitu jelas nampak pada mereka.
Keterbatasan
bahan bakar minyak membuat penduduk negeri itu meninggalkan mobil dan
menggunakan kendaraan umum, jutaan sepeda menjadi kendaraan baru bagi
masyarakat, dan kendaraan-kendaraan pejabat pemerintah menjadi tumpangan
bagi rakyat yang memerlukannya.
Lebih
dari itu Cuba bangkit dengan pertaniannya yang bagi negeri-negeri lain
yang maju sekalipun masih berupa teori. Tidak kurang dari 80 % produk
pertanian negeri itu kini organic, dihasilkan melalui apa yang disebut permaculture dan community farm.
Permaculture intinya adalah ecological design dan ecological engineering yang mengembangkan system pertanian yang self-sustainable meniru ecosystem di alam, untuk menopang kehidupan penghuni bumi ini secara berkelanjutan.
Ada tiga hal yang menjadi titik perhatian dari permaculture
yaitu memelihara apa yang ada di alam, menjaga manusia yang tinggal di
dalamnya dan menyeimbangkan populasi dengan ketersediaan konsumsi.
Kini
banyak orang-orang dari negeri maju belajar dari Cuba yang tidak lagi
kelaparan, tingkat konsumsi mereka telah meningkat ke angka 2,600-an
kalori/hari – jauh di atas kebutuhan minimal agar orang tidak kelaparan.
Bukan hanya tidak kelaparan, dengan permaculture, community farm dan bahan pangan organic-nya
yang luar biasa – mereka kini memiliki variasi bahan pangan yang lebih
banyak dan lebih sehat dibandingkan dengan negara-negara lain yang maju
sekalipun.
Ketika
bahan bakar, pupuk dan produk-produk industry tidak lagi bisa mereka
peroleh, mereka kembali mengandalkan alam dan berhasil. Bisa jadi benar saran pengusaha tua dari Singapore yang pernah saya tulis di situs ini, yaitu agar Indonesia meng-embargo diri untuk bisa mandiri – karena Cuba telah membuktikannya.
Pelajaran
ke tiga yang bisa diambil dari Cuba adalah ketika krisis terjadi,
pemerintah dan rakyat bahu membahu mengatasinya secara bersama – seperti
yang tercermin dari contoh kecil para pejabat yang mau memberi
tumpangan kendaraan pada rakyat yang membutuhkannya.
Maka
pada kesempatan ini saya menghimbau khususnya bagi para wakil rakyat
yang suka ‘study banding’ ke manca negara; perbanyaklah study banding ke
negeri seperti Cuba, dan kurangi study banding ke negeri-negeri seperti Jerman, Perancis, Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya.
Mengapa
demikian ?, negeri berkembang seperti kita ini ibarat petani dari desa.
Kalau kita ke kota besar seperti Jakarta, maka kita banyak
terkagum-kagum tetapi tidak banyak manfaat yang bisa kita bawa dan
terapkan di desa kita. Sebaliknya bila petani dari desa ini studi
banding ke petani lain yang sukses dengan karyanya, maka langsung bisa
kita contoh dan terapkan di desa kita.
Belajarlah dari negeri dengan jumlah penduduknya sekitar 11 juta di areal luas lahan sekitar 110,000
km2 - yang kini mampu memberikan pendapatan per capita penduduknya di
angka sekitar US$ 9,900. Bandingkan ini dengan Indonesia yang memiliki
248 juta penduduk di luas areal sekitar 1,900,000 km2, pendapatan per
capita penduduknya kurang dari separuh dari Cuba yaitu di kisaran US$
4,700. Data ini diperoleh dari CIA yang bekerja ekstra keras memelototi
seluk beluk yang terjadi di dua negeri ini – untuk alasan dan sudut
pandang yang berbeda !.
Dari
angka-angka ini lantas saya memang tidak sampai pada taraf seperti yang
disarankan oleh pengusaha Singapore tersebut di atas yaitu mendorong
agar Indonesia meng-embargo diri, karena bagaimanapun perdagangan
internasional akan bermanfaat bila dapat dijalankan secara adil. Namun
bila kita diperlakukan secara tidak adil, ditekan sana – ditekan sini
sampai-sampai kenaikan harga bahan bakar di negeri ini-pun konon karena
tekanan asing, maka kita harus berani menyatakan tidak.
Kita
harus berani menyatakan tidak untuk segala perlakuaan yang tidak adil
dari negeri-negeri yang sok mendikte kita. Bila dampak dari sikap
merdeka yang bebas dari tekanan asing ini terburuknya membuat kita
diembargo sekalipun, kita tidak perlu khawatir sama sekali.
Siapa
tahu kita bisa lebih sehat karena tumbuh secara ‘organic’ dan siapa
tahu pula pendapatan kita malah meningkat dua kalinya dari sekarang –
menyamai Cuba. Wa Allahu A’lam. *
*) http://geraidinar.com
Posting Komentar