Tetap Merdeka!
Kedaulatan Negara dan
Bangsa Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 akan kami
pertahankan dengan soenggoeh-soenggoeh, penoeh tanggoeng djawab bersama,
bersatoe, ikhlas berkorban dengan tekad “Merdeka atau Mati!!!”
Sekali merdeka tetap merdeka!
Soerabaja, 9 November 1945, pukul 18:46
ikadikobar.blogspot.com - Demikian isi sumpah yang diucapkan oleh arek-arek Surabaya
di markas Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Jawa Timur Jl. Pregolan,
Surabaya. Sumpah ini sebagai ‘jawaban’ atas ultimatum Mayor Jenderal E.
C. Mansergh, agar rakyat kota Surabaya menyerah kepada Sekutu. Mereka
yang mengucapkan dan menandatangani sumpah ini adalah wakil-wakil TKR
Jawa Timur, Pemuda Republik Indonesia (PRI), Barisan Berani Mati (BBM),
Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI), serta kesatuan-kesatuan
laskar lainnya. Para pemuda dari kampung-kampung sekitar Jl. Pregolan,
seperti kampung Tegalsari, Pelemahan, Kampung Malang, Kedung Doro,
Kedung Klinter, Kaliasin, dan Keputran, turut ambil bagian di dalamnya.
Mereka mengucapkan sumpah itu penuh khidmat, dan dalam situasi tegang
dan haru, ketika satu divisi pasukan Inggris (kurang lebih 24 ribu
serdadu) telah merapat di pelabuhan Tanjung Perak, dan siap menyerbu
masuk kota Surabaya dengan kekuatan penuh. Mereka tak tahu, dan tak mau
tahu, bagaimana nasib mereka besok hari. Yang ada hanya tekad “Merdeka
atau Mati!”. Malam itu juga para pemuda bersenjata mengerahkan tenaga
untuk membentuk benteng-benteng pertahanan dalam segala keterbatasan.
Tanggal 10 November 1945, sesuai ultimatumnya, mulai pukul 06.00,
kota Surabaya dihujani tembakan meriam dari laut, dimulai dari bagian
utara ke selatan kota. Meriam dan artileri berat dari kapal-kapal perang
memuntahkan bom-bomnya tanpa ampun. Korban mulai berjatuhan, baik dari
kalangan rakyat sipil maupun pemuda bersenjata. Markas Polisi Tentara
Keamanan Rakyat (PTKR), yang letaknya saat ini dijadikan lokasi Tugu
Pahlawan, hancur lebur pada hari itu juga. Tank-tank dan pasukan
infantri Inggris segera menyusul turun ke daratan. Tapi gerak maju
mereka masih berhasil dibendung arek-arek Surabaya di Jl.
Gresik, Kabelan, Kalimas Timur, Nyamplungan, dan Pegirikan. Pertempuran
terus berlangsung sampai malam hari, dan dilanjutkan lagi keesokan
harinya, esok sesudahnya, dan seterusnya, sampai tiga minggu lamanya.
Baru pada tanggal 2 Desember 1945, kekuatan massa rakyat
bersenjata melakukan langkah mundur strategis ke luar kota Surabaya, ke
sekitar Mojokerto dan Sidoarjo. Di kemudian hari, seorang tentara
Inggris, Mayor R.B. Houston, menulis: “Orang-orang Indonesia hanya
bisa didesak ke luar dari Surabaya setelah gempuran dahsyat tembakan
meriam dan pemboman oleh angkatan luat dan pertempuran sengit selama 21
hari.”
Pertempuran ini melibatkan sekitar 140 ribu pemuda bersenjata,
terbagi dalam sejumlah kesatuan, diantaranya 8 bataliyon TKR, 4
bataliyon TKR Laut, 2 bataliyon Polisi Istimewa dan Polisi Istimewa
Khusus, 1 batalion TKR Pelajar, 15 bataliyon Pemuda Republik Indonesia
(PRI), 1 batalion BPRI, 1 batalion Hizbullah, dan ratusan kompi tak
bernama dari para “pemuda kampung” yang jumlahnya tiga kali lebih besar
dari total 32 bataliyon yang ‘bernama’atau ‘beridentitas’ tersebut di
atas.
Mereka bertempur dengan semangat, keberanian, keteguhan hati, kerelaan berkorban tanpa nama dan tanpa wajah (nameless dan faceless),
menghadapi pasukan Inggris yang dilengkapi persenjataan modern, pesawat
tempur, tank, panser, dan peralatan komunikasi yang jauh lebih canggih,
serta pengalaman tempur yang lebih banyak. Satu-satunya alat komunikasi
yang digunakan oleh pemuda Indonesia adalah radio, dalam hal ini Radio
Pemberontrak Republik Indonesia yang saat itu dipimpin oleh Bung Tomo
(Sutomo). Namun radio ini sama sekali bukan digunakan untuk
mengorganisasikan pertempuran, melainkan untuk mengobarkan semangat
juang, dan menyerukan mobilisasi bantuan (logistik maupun pasukan) dari
daerah-derah luar Surabaya. Sementara rakyat tidak bersenjata, terutama
kaum perempuan, membantu para pemuda secara gotong royong, mendirikan dapur umum, menyediakan makanan di depan rumah, menyediakan pakaian, bantuan medis, dan sebagainya.
Agustus ke November
Pertempuran Surabaya merupakan puncak dari rentetan kejadian sejak
bulan Agustus ketika kemerdekaan Indonesia diprokalmasikan oleh
Sukarno-Hatta mewakili bangsa Indonesia. Apa yang terjadi pada tenggang
waktu tersebut tersebut menjelaskan sebuah revolusi yang sebenarnya;
selain terjadi transformasi kekuasaan, sebagaimana diamanatkan dalam
teks proklamasi yang sangat singkat itu, juga terjadi transformasi
kesadaran dan kejiwaan yang melanda hampir seluruh rakyat.
Dari Agustus sampai November 1945, rakyat Surabaya, lebih khusus para
pemudanya, telah melalui suatu proses, kejadian demi kejadian, yang
meneguhkan penolakan mereka atas kembalinya kaum penjajah.
Aksi penurunan bendera Belanda di Hotel Yamato Jl. Tunjungan
(sekarang Hotel Majapahit) adalah puncak dari permulaan, sejak mereka
mendengar proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus
1945 malam hari. Provokasi atau tindakan arogan pengibaran bendara oleh
Ploegman, seorang Belanda anti-pribumi yang ditunjuk sebagai walikota
oleh NICA, telah memicu perlawanan yang semakin besar. Sejak saat itu,
19 September 1945, timbul kesadaran yang semakin meluas, bahwa penjajah
Belanda akan kembali, dan kehadiran pasukan Inggris dengan selubung
RAPWI (Rehabilitation of Prisoners of War and Internees) tidak dapat dipercaya.
Tanggal 21 September 1945, para pemuda yang terhimpun dalam Pemuda
Republik Indonesia (PRI), yang dipimpinn Soemarsono, mengadakan Rapat
Raksasa di lapangan Tambaksari. Menurut catatan wartawan saat itu,
sekitar seratus lima puluh ribu orang berkumpul dalam semangat gegap
gempita. Ini jumlah yang sangat besar berbanding jumlah penduduk
Surabaya ketika itu yang sebanyak 520 ribu. Mereka semua menyatakan
tekad untuk mempertahankan kemerdekaan dengan slogan “Merdeka atau
Mati!”. Dampak dari rapat raksasa ini luar biasa.
Di Jakarta, Rapat Raksasa di lapangan Ikada, 19 September 1945, juga
berhasil memobilisasi ratusan ribu massa rakyat. Namun, karena khawatir
terjadinya pertumpahan darah, Bung Karno menyerukan massa rakyat untuk
pulang dengan tenang. Berbeda halnya di Surabaya, rapat raksasa di
Tambaksari, yang telah didahului dengan insiden pengibaran bendara, juga
sebelumnya sejumlah insiden bentrokan dengan tentara Jepang, telah
mencuat jadi perjuangan fisik yang berkelanjutan. Larangan rapat raksasa
oleh Jepang tidak digubris. Bahkan kertas-kertas pengumuman dari
penguasa Jepang dirobek-robek dengan amarah oleh rakyat, dan digantikan
dengan menempel bendera merah-putih atau slogan-slogan pro Republik.
Perebutan senjata dari tentara Jepang dilakukan lewat perjuangan
fisik dan negosiasi “bawah tanah”. Markas-marks pasukan Jepang dikepung
oleh pemuda dan rakyat, hingga memaksa mereka menyerahkan senjatanya. Di
beberapa tempat pengepungan ini memakan korban yang tidak sedikit, baik
dari pihak rakyat pejuang maupun tentara Jepang. Sementara negosiasi
“bawah tanah” dilakukan oleh para aktivis pergerakan dengan petinggi
militer Jepang menghasilkan sejumlah kesepakatan yang menguntungkan
pihak Republik.
Pada tanggal 1 Oktober 1945, dengan jatuhnya Markas Besar Kampetei,
kekuatan tentara Jepang dapat dikatakan telah lumpuh. Hampir seluruh
senjata sudah jatuh ke tangan rakyat Surabaya. Tanggal 5 Oktober, saat
pemerintah RI mengeluarkan dekrit pembentukan Tentara Keamanan Rakyat
(TKR), praktis kekuatan bersenjata yang riil hanya berada di tangan massa rakyat
Surabaya. Mereka adalah pemuda-pemuda kampung, tukang becak, buruh,
pedagang kecil, pelajar, bahkan kriminal yang baru dilepas dari penjara
Kalisosok, dan rakyat biasa yang terpanggil untuk turut berjuang.
Masuknya tentara Inggris ke Surabaya, tanggal 27 Oktober 1945,
semakin memanaskan situasi yang ada. Terlebih setelah tentara Inggris
menduduki pos-pos di luar kesepakatan dan melakukan sejumlah provokasi
penembakan terhadap rakyat. Sekitar dua puluh pos pasukan Inggris
dibangun secara terpisah di kota Surabaya. Pelanggaran dan provokasi ini
mendapatkan ganjarannya. Rakyat Surabaya melakukan perlawanan hebat.
Pengepungan dan pertempuran terjadi selama tiga hari, dari tanggal 28
sampai 30 Oktober. Pada hari berikutnya, Brigadir Jenderal Mallaby
terbunuh ketika menjalankan tugasnya sebagai “Biro Kontak” antara
pasukan Inggris dan Indonesia.
Tewasnya Brigjen Mallaby itu lah yang dijadikan dalih oleh Inggris
untuk mengultimatum rakyat Surabaya. Mereka menuduh pemerintah RI gagal
mengendalikan keadaan, membiarkan terjadinya perampokan dan tindakan
kriminal. Juga menuduh pemerintah RI menghalang-halangi tugas RAPWI.
Dalih. Sekali lagi hanya dalih, karena maksud politik yang sesungguhnya
dari Inggris adalah mengembalikan kekuasaan Belanda. Mayjen E. C.
Mansergh, yang menggantikan Mallaby, bahkan masih menggunakan nama
Hindia-Belanda (bukan Indonesia) ketika mengirimkan surat ancaman kepada
Gubernur Suryo (yang tidak diakuinya sebagai Gubernur).
Refleksi kekinian
Sulit membayangkan daya juang atau semangat kepahlawanan 67 tahun lalu di Surabaya itu hadir di zaman sekarang. Lalu apa saja yang bisa kita lakukan untuk kemajuan dan kedaulatan bangsa ini?
Posting Komentar