- Kategori : Ekonomi Makro
- Oleh : Muhaimin Iqbal
ikadikobar.blogspot.com - Kita
semua pada umumnya adalah produsen dan konsumen sekaligus. Kita
memproduksi barang atau jasa A, dan membutuhkan produk barang atau jasa
B. Dalam proses konversi antara yang kita produksi A menjadi yang kita
butuhkan B inilah dibutuhkan medium of exchange – yaitu uang. Sayangnya uang yang kita pakai untuk medium of exchange selama ini sangat tidak efisien.
Kalau
kita memproduksi jagung dan kita butuh beras setahun kemudian,
kehilangan proses penukaran ini bisa mencapai sekitar 9 % di Indonesia –
yaitu angka inflasi rata-rata per tahun bahan pangan selama 5 tahun
terakhir.
Hal
yang sama terjadi pada skala negara, kita memproduksi gas, emas, hasil
hutan dlsb., pada saat yang bersamaan kita butuh pesawat terbang,
computer, mesin-mesin pabrik dlsb. Produksi kita dijual dan kita
menerima Dollar untuk digunakan membeli barang-barang yang kita
butuhkan.
Karena
ada jeda waktu antara kita menjual produk dan membeli kebutuhan, selama
jeda waktu tersebut Dollar simpanan kita (cadangan devisa) terus
mengalami penurunan. Terhadap kambing (yang setara emas) misalnya,
Dollar menurun daya belinya 18 % per tahun rata-rata selama 10 tahun
terakhir.
Lantas bagaimana agar dalam proses menukar produk kita dengan produk yang kita butuhkan tersebut tidak terjadi in-efficiency yang begitu nyata ?, jawabannya ya tidak menggunakan uang yang rentan terhadap in-efficiency tersebut (baca inflasi).
Cuma
masalahnya adalah menyimpan kambing tidak semudah menyimpan uang,
menjual kambing juga tidak semudah membeli barang dengan uang. Apa
solusinya ?, itulah dibutuhkan pasar sehingga barang atau komoditi
apapun dapat dipertukarkan dengan cepat dan mudah.
Pasar juga membutuhkan satuan nilai (unit of account) agar satu barang-mudah ditukar dengan barang lain dengan nilai yang sesuai untuk masing-masing barang. Unit of account seharusnya juga standard dan bernilai relatif tetap terhadap barang lain. Kalau 1 unit of account 10 tahun lalu cukup untuk membeli kambing, sekarang juga harus cukup.
Apakah
ini bisa terjadi bila unit of account-nya Rupiah, Dollar dlsb ?.
Statistik menunjukkan tidak, karena harga kambing melonjak sampai
sekitar 5 kali selama 10 tahun terakhir saja bila dibeli dengan Rupiah
maupun Dollar. Yang terbukti stabil selama 1400 tahun lebih adalah emas
atau Dinar – maka Dinar itulah sesungguhnya unit of account atau timbangan yang adil itu.
Bagaimana
menyikapi Dinar yang nilainya terlalu besar untuk kebutuhan masyarakat
sehari-hari seperti telur , sayur, beras dlsb. ?. Timbangannya tetap
timbangan yang adil, tetapi nilainya bisa saja dipecah menjadi unit yang
sangat kecil misalnya 1 ¢¢ ( dibaca 1 sen-sen) atau 1/10,000 Dinar.
Bagaimana
mencetak koin dengan satuan 1/10,000 Dinar atau 1 ¢¢ atau koin emas
seberat 0.000425 gram itu ? Jawabannya ya tidak harus dicetak !.
Berbagai teknologi yang ada di jaman ini bisa dengan mudah menggantikan
fungsi koin 1 ¢¢ tersebut. Tinggal emasnya dititipkan di sebuah
institusi yang terpercaya (Trusted Third Party), penggantinya bisa
kupon, digital record dlsb.
Dalam sejarah Islam, institusi yang menerima titipan emas tersebut disebut al-Sharf – dan ‘kupon’ yang diberikan untuk dapat ditukar kembali dengan emas – bahkan di negeri yang jauh – disebut al-Suftajah.
Melalui keberadaan al-Sharf dan produknya al-suftajah tersebutlah dahulu negeri-negeri Islam yang sangat luas wilayahnya-pun memiliki system medium of exchange yang efisien dan tidak tergerus oleh inflasi. Medium of exchange ini berdasarkan komoditi, karena inilah medium of exchange yang disebut dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh hampir seluruh perawi itu.
“(Juallah)
emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir
dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat
harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda,
juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai”. (HR. Muslim)
Sayangnya negeri yang nampaknya paling memahami kekuatan komoditi sebagai store of value (penyimpan nilai), unit of account (satuan nilai) dan sekaligus juga medium of exchange (alat tukar) itu kini bukan negeri muslim – tetapi malah negeri China.
Chinalah
sekarang negeri yang paling agresif mengumpulkan berbagai komoditi baik
oleh pemerintah atau swasta/rakyatnya, baik itu emas, perak, tembaga
sampai komoditi-komoditi yang sangat khusus – dibutuhkan dalam
perlombaan teknologi jaman ini tetapi tidak banyak yang bisa
memproduksinya.
Bahkan di negeri-negeri lain nama komoditi tersebut belum dikenal. Kalau saya sebut neodymium, europium, dan cerium misalnya – pasti belum banyak yang mengetahui benda apa itu.
Itulah kekuatan China di bidang komoditi, karena hanya Chinalah yang menguasai rare earth elements ini. Neodymium diperlukan untuk memproduksi magnet permanent dan teknologi laser, Europium diperlukan untuk teknologi fiber optic dan LED lights, penerangan hemat energy kedepan. Cerium dibutuhkan untuk fluid-cracking catalyst yang bisa meningkatkan hasil dan mengurangi energy yang dibutuhkan dalam industri perminyakan.
Untuk komoditi pangan, China pula yang telah memperkenalkan dioscorea flour
– yang tidak lain sebenarnya adalah tepung gembili yang kita-pun
sesungguhnya bisa memproduskinya dalam skala besar – bila kita ada awareness ke sana.
Bagaimana
China bisa unggul dalam komoditi-komoditi tersebut di atas ?, karena
mereka tahu bahwa komoditi-lah uang yang sesungguhnya itu. Sementara
negeri-negeri lain mengira bahwa uang itu adalah Rupiah, Dollar dlsb.
yang nilainya mudah sekali terdistorsi turun.
Umat
ini sesungguhnya telah diberitahu oleh Rasul-nya bahwa jual beli itu
dengan komoditi sebagaimana hadits shahih di atas, tetapi ketika
petunjuk itu diabaikan – maka penguasaan ekonomi dunia inipun tidak
ditangan umat ini. Penguasaan ekonomi itu ditangan yang menerapkan
petunjuk tersebut ! Wa Allahu A’lam.
Posting Komentar