Kuba, negeri kecil di Karibia, punya cerita sukses di
bidang pendidikan. Predikat ini tentu sangat membanggakan. Banyak
lembaga internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), memuji
kesuksesan tersebut. Banyak negara di dunia juga belajar dari
kesuksesan pendidikan Kuba.
Pendidikan dasar universal, yang juga diadopsi oleh PBB pada tahun
2000, sudah dipraktekkan dengan baik oleh Kuba. Catatan PBB menyebutkan,
100% orang Kuba berusia 15-24 (laki-laki dan perempuan) sudah melek
huruf. Selain itu, 96,2% anak-anak usia sekolah dasar sudah terdaftar.
Dan, pada tahun 2004, 92,6% anak-anak itu berhasil menyelesaikan
pendidikan dasar. Bahkan, dalam peringkat UNESCO, Kuba berada di urutan
ke-10 dari 125 negara dalam hal melek huruf.
Fidel Castro, yang berkuasa di Kuba selama empat dekade, faham betul
dengan nasehat bapak pembebasan Kuba Jose Marti: pendidikan adalah
satu-satunya cara untuk pembebasan. Bagi Castro, rakyat tidak akan bisa
melihat jalan pembebasan jikalau dirinya masih dibelenggu oleh
buta-huruf dan kebodohan.
Gambaran Kuba sebelum revolusi sangat memprihatinkan. Sebanyak 50%
anak-anak di Kuba tidak pernah menyentuh bangku sekolah. 72% anak-anak
berusia 13-19 tahun tidak bisa melanjutkan sekolah ke sekolah menengah
(setingkat SMP). Dan satu juta orang rakyat Kuba buta-huruf.
Berbicara di forum PBB, tahun 1960, Fidel Castro menjanjikan, “tahun
depan rakyat kami mengusulkan meluncurkan perang habis-habisan terhadap
buta-huruf, dengan tujuan ambisius mengajari setiap orang buta-huruf
untuk membaca dan menulis.”
Sembilan bulan kemudian, tepatnya tahun 1961, lebih dari satu juta
orang Kuba dimobilisasi untuk ke seantero negeri guna membebaskan rakyat
dari buta-huruf. Saat itu, 707.000 rakyat belajar membaca dan menulis.
Alhasil, dalam waktu sangat singkat, buta-huruf berkurang dari 21%
menjadi 3,9%.
Seorang Sutradara film, Catherine Murphy, berhasil mendokumentasikan
perjuangan pemberantasan buta-huruf Kuba itu dalam film “Maestra”. Ia
memotret antusiasme remaja-remaja putri mengabdikan hidupnya bagi
pembebasan sebangsanya dari buta-huruf dan kebodohan. Mereka, yang
sebagian besar meninggalkan keluarganya, pergi ke desa-desa mengajari
kaum tani bagaimana membaca dan menulis.
Inilah awal dari program Kuba yang disebut “Yo sí Puedo”,
(Yes, I can). Program ini menggunakan metode pedagogis-kritis. Di
masanya, pada tahun 1961, para pengajar atau instruktur buta-huruf
tinggal di tengah-tengah rakyat. Mereka tinggal dan tidur di rumah-rumah
petani. Siang hari, mereka turut bekerja di sawah atau ladang. Dan,
pada sore hari, mereka mulai membuka kelas untuk belajar.
Di mana-mana, di ladang-ladang, di pabrik-pabrik, dan di mana saja, berkumandang slogan: setiap orang Kuba adalah guru, dan setiap rumah adalah sekolah. Seluruh rakyat Kuba termobilisasi untuk membebaskan negerinya dari buta-huruf.
Program “Yo sí Puedo”, (Yes, I can) sangat sukses. Program
ini kini diadopsi oleh lebih 30 negara di dunia, seperti di Meksiko,
Argentina, Nikaragua, Venezuela, Haiti, Brazil, Uruguay, Dominika,
Mozambique, Guinea Bissau. Di Australia dan Selandia baru, program ini
juga diadopsi untuk memberantas buta-huruf di kalangan Aborigin.
Saudara-saudara kita di Timor Leste juga mengadopsi program ini untuk
memberantas buta-huruf.
Pada tahun 1961, pemerintahan revolusioner Kuba juga menasionalisasi
semua sekolah dan universitas swasta. Lalu, Kuba juga mulai
menggratiskan seluruh pendidikan untuk seluruh rakyatnya. Che Guevara,
legenda Revolusi Kuba, bermimpi mengubah Kuba menjadi semacam “sekolah
besar”.
Pemerintah Kuba tak pernah pelit dalam urusan pendidikan.
Sekalipun pendapatan negeri ini sangat terbatas, tetapi Kuba konsisten
menggunakan anggaran negaranya untuk mencerdaskan kehidupan rakyatnya.
Lavinia Gasperini, yang menulis laporan mengenai pendidikan Kuba di
PBB, pada tahun 2000, mengatakan, keberhasilan pendidikan di Kuba
menunjukkan bahwa pendidikan bermutu bukan sekedar permasalahan
pendapatan nasional, tetapi bagaimana pendapatan itu dimobilisasi.
Lavinia Gasperini mencatat beberapa keunggulan pendidikan di Kuba:
pendidikan gratis dan universal; tingkat melek huruf yang nyaris
sempurna; representasi perempuan proporsional di semua tingkatan,
termasuk pendidikan tinggi; kualitas yang tinggi dan merata di semua
jenjang dan seluruh negeri; memberi landasan yang kuat dan ilmiah bagi
pengembangan pengetahuan, khususnya di bidang kimia dan kedokteran.
Orang-orang tak habis fikir, Kuba, negeri miskin yang hanya punya
pendapatan per-kapita $2.800 (ppp) itu, bisa menyaingi standar
pendidikan di negara maju, seperti AS ($37.800), Kanada ($29.700), dan
Inggris ($27.700).
Sudah begitu, seluruh lembaga pendidikan di Kuba adalah pendidikan
umum (negeri). Kuba konsisten mengerahkan 6,7 persen dari GNP-nya untuk
pendidikan. Bahkan, ketika Kuba berhadapan dengan masa sulit, yakni
ketika Uni-Soviet kolaps di tahun 1990-an, negara ini justru memilih
memotong anggaran militernya untuk pendidikan.
Pada tahun 1959, sebelum meletusnya revolusi Kuba, jumlah Universitas
cuma tiga buah. Itupun hanya menampung 15 ribu orang. Sekarang ini,
jumlah Universitas di Kuba suda mencapai ratusan. 11% ilmuwan Amerika
Latin mendapat gelar PhD-nya di Kuba.
Sejak tahun 2000 lalu, Kuba mencanangkan “Universitas Untuk Semua
Orang”, yang menargetkan pembukaan ruang klas universitas di setiap
provinsi dan kotamadya. Alumnus Universitas di Kuba bebas “utang”. Ini
berbeda sekali dengan alumnus Universitas di negeri-negeri maju, seperti
AS, yang sekarang ini terperangkap dalam “debt student loan”.
Kuba mengajarkan kepada kita, bahwa rintangan sebesar apapun,
termasuk soal anggaran, tidaklah cukup menjadi alasan untuk mencegah
sebuah bangsa memajukan dan mencerdaskan rakyatnya. Sekalipun
berpuluh-puluh tahun mengalami serangan permanen dari imperialisme AS,
bahkan ekonominya terus dilumpuhkan lewat sabotase dan embargo, Kuba
berhasil membebaskan rakyatnya dari kebodohan.
Anna Yulianti- pemerhati masalah sosial, perempuan dan Hak Azasi Manusia. Tinggal di Jakarta.
Posting Komentar