ikadikobar.blogspot.com - Ketika kesulitan terasa datang bertubi dan kemudahan yang dinanti tak jua datang menghampiri. Segala daya dan upaya maksimal dirasa telah ditumpah-ruahkan. Di tengah pergulatan masalah yang merasuki pikir, tanpa disadari air mata sering kali jatuh membasahi pipi, membasuh hati. Dalam kondisi ini, kita mulai kepayahan menstabilkan semangat agar tetap melingkupi hati. Mungkin sebagian besar di antara kita akan berkata “La tahzan, innalloh ma’iy…” sebagai kalimat pembesar hati. Kita berkali-kali bermonolog ria agar yakin (akan datangnya kemudahan) terus bersemayam dalam jiwa. Tak jarang surat Al-Insyirah melantun syahdu di langit hati, “Inna ma’al ‘usri yusro” sebagai penghibur jiwa. Sesungguhnya, bersama kesulitan ada kemudahan. Atau yang lebih simple dan sederhana dari kalimat itu semua, kau mungkin akan seringkali berkata “Bisa!” sebagai kata memotivasi.
Tapi, mengapa semakin kita terus menegaskan pada jiwa agar yakin akan pertolonganNya, seolah terlihat semakin menampakkan betapa tipisnya rasa yakin yang kita punya. Jujurlah, ketika lisanmu mengatakan yakin, apakah kabut tipis keraguan masih mengusik di selasar hati? Jika jawabmu adalah “Ya”, maka itu namanya kau belum benar-benar yakin, haqqul yakin. Hingga wajar saja jika masih hadirlah resah, mewujudlah gelisah atas masalah yang datang menyapa dan kebutuhan penegasan keyakinan menjadi hal yang tak terelakan lagi.
Namun, bukan berarti penegasan yang kau upayakan pada jiwa agar yakin akan kemudahan dari-Nya bernilai salah. Tidak sama sekali. Fase ini pasti akan ditempuh oleh sesiapa saja yang pernah dirundung masalah. Oleh sesiapa saja yang menaruh harap padaNya.
Rasulullah yang mulia pun senantiasa berharap dan mempertegas yakinnya. Banyak kisah Rasul yang dapat dijadikan teladan dalam hal ini, salah satunya adalah kisah tentang proses sebelum perang Khandaq membara. Dengan berbagai pertimbangan yang matang melalui proses musyawarah, maka bertahan di Madinah dan penggalian parit di sekeliling Madinah adalah siasat perang yang hendak mereka mainkan. Salman Al-Farisi adalah dalang dibalik ide penggalian parit ini.
Mungkin kita berfikir ini tidaklah sulit, hanya menggali parit. Apalagi daerah Madinah seringkali dikatakan sebagai lahan berpasir yang tentunya menurut logika akan mudah untuk digali. Jangan keliru saudaraku, lahan atau tanah mereka bukanlah pasir layaknya pasir di permukaan pantai yang terdapat di negara kita. Tanah mereka juga mengandung bongkahan batu besar dan sukar dihancurkan. Tambahan lagi, kala itu sedang terjadi krisis pangan dan musim dingin.
Seluruh muslimin bersatu padu bergerak bersama untuk menyelesaikan parit ini, hingga sampailah mereka pada sebongkah batu besar yang sangat sulit dihancurkan. Para sahabat melaporkan perihal ini kepada Rasul. Lalu Rasul mengambil kampak dan mendekati batu besar itu. Dengan menyebut nama Allah, Rasul pun memukul dan memecahkan batu besar itu. Setelah itu, beliau berkata “Allah Mahabesar, sungguh aku telah diberikan kunci-kunci gerbang negeri Syam, Demi Allah aku melihat istana merahnya sekarang”. Kemudian untuk kali kedua, Rasul kembali memukul dan memecahkan batu besar itu lagi dan berkata “Allah Mahabesar, sungguh aku telah diberikan Parsi, demi Allah, sungguh aku melihat istana putih al-Madain sekarang”. Kemudian Rasul menyebut nama Allah lalu memecahkan batu besar lainnya dan berkata “Allah Mahabesar, sungguh aku telah diberikan kunci-kunci Yaman, demi Allah, aku melihat gerbang Shan’a dari tempatku ini”.
Subhanallah. Menurut penulis, kisah ini adalah cerminan cantik dari serangkaian kalimat penyemangat pembesar jiwa, agar pengharapan dan keyakinan akan kejayaan Islam terus tertanam dan tertancap dalam di sanubari segenap kaum muslimin ketika itu. Tentunya kalimat penyemangat ini bukanlah sekadar obral janji, karena apa yang Rasul katakan mendapat tuntunan langsung dariNya. Dan semua yang Rasul katakan ini terbukti.
Tentunya pengharapan Rasul bukan karena ia tak yakin dan pertegasan keyakinannya bukan karena ia tak percaya. Kisah ini membuktikan bahwa Rasul juga manusia yang tentunya memiliki segenap “rasa manusia” yang mendapat petunjuk langsung dariNya.
Ya… Sikap optimisme dengan kalimat penggugah semangat, pembesar jiwa, akan memunculkan rasa harap yang kemudian menuntun kita untuk mempertegas rasa yakin. Agar keyakinan ini benar-benar tertancap dalam di sanubari… Agar kemudian Allah berkenan menolong…
Yakinlah, Allah akan menolong kita, bahkan meskipun kita masih dalam kondisi berupaya memperkuat dan mempertegas rasa yakin…
Berbagai Kemudahan yang Menyapa di Cerita Hidupku
Di hari jumat kemarin (13/09), seorang teman meneteskan air mata karena kesulitan birokrasi yang harus dia lalui. Ia terpaksa harus berhadapan dengan birokrasi kampus karena telat membayar uang semester. Mungkin ketika itu ia mulai merasa semakin lelah dan tak bersemangat lagi. Aku hanya bisa berupaya membesarkan hatinya yang mulai terkesan menyusut karena ia kerap kali bertanya “Bisa gak ya? Kalo gak bisa gimana?” dengan terus menjawab “insya Allah bisa kok” dan sesekali mengomentari cerita yang ia bagi. Berbagai saran pun ku tawarkan agar ia menghubungi beberapa dosen dan pejabat terkait. Namun setelah semua upaya ia tempuh, di hari itu, hasilnya tetap tak bisa. Dia tetap berusaha menghubungi pejabat itu, hingga sang dosen yang sekaligus sebagi pejabat terkait ini berkata via sms “sekarang kamu pulang aja, besok hari senin ke sana lagi, ibu lagi hubungi bapak x”.
Senin siang ini aku sengaja menemaninya untuk menghadap bapak x yang beliau maksud. Di saat menunggu sang bapak yang kebetulan sedang ada tamu, dia kembali bertanya, “Bisa gak ya? Kalo gak bisa gimana?”. Dengan jawaban yang tak jauh beda aku menjawab “Insya Allah bisa”.
Alhamdulillah, bisa… Wajahnya berbinar bahagia… Senangnya melihat ia senang.
Dari intensitas pertanyaan yang ia ajukan padaku, “Bisa gak ya?”. Terlihat bahwa yakin yang melingkupi hatinya tak seberapa.., tapi Allah tetap memberi kemudahan padanya…
Paska menemaninya ke bank untuk bayaran yang berlokasi di kampus A, aku bergegas mengerjakan tugas yang memang (katanya) harus dikumpul nanti di kelas. Saat itu jarum jam menunjukkan kurang lebih pukul 14.30, dan aku ada kelas di kampus B pukul 15.00 (hehe). Alhasil terlambatlah sampai kelas. Karena sudah ngos-ngosan menuju kelas yang ada di lantai 3 kampus B, aku yang datang telat hanya mengetuk pintu lalu langsung duduk, lupa mencium tangan dosen yang ada. (hemm)
Tapi bukan itu inti kemudahan yang kurasa. Mata kuliahku yang satu ini konon berniat pindah jadwal dan jadwal itu bentrok dengan jadwal matkulku yang lain. Sedang ini adalah kesempatan ‘terakhir’ku. Maka dengan sedikit rasa pede dan keyakinan yang tak seberapa bahwa dosen ini akan memudahkanku, pasca perkuliahan usai aku menujunya dan berbicara apa adanya terkait hal ini.
Alhamdulillah… Yakinku yang tak seberapa dijawab oleh kemudahanNya… (Maaf, bentuk kemudahannya tak dapat di-share di sini. =D)
Lihatlah, betapa luar biasa baiknya Allah…
Allah tetap mengabulkan keinginan hambaNya, padahal hambaNya tak seberapa yakin padaNya…
Sumber: http://www.dakwatuna.com
Posting Komentar