Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, alhamdulillah,
sebagai warga negara yang baik, yang berusaha mengamalkan ketaatan
kepada ulil amri, kita semua telah menyampaikan aspirasi masing-masing
secara langsung-umum-bebas-rahasia. Apapun pilihan akhir masing-masing,
tentunya adalah hak masing-masing. Tidak untuk dibahas dan
diperdebatkan. Namun, kita wajib bersyukur bahwa prosesi itu telah
berlangsung dengan baik dengan tetap menjaga ukhuwah Islamiyah pada
khususnya. Semoga Allah Swt menghindarkan diri kita semuanya, daripada
pribadi-pribadi yang selama proses menuju pilihan akhir adalah pribadi
yang tidak menerima money politics dari siapapun. Karena selain
tidak jelasnya sumber dana-dana mereka dan membuat kita tidak lagi
independen dari pemikiran asli. Namun bukankah satu suara umat Islam
begitu mahal nilainya di hadapan Allah Swt? Karena satu suara itu lahir
dari sebuah proses berpikir secara mendalam untuk kemudian lahir menjadi
sebuah keputusan individu, terlebih sebuah keputusan untuk memilih
wakil manusia yang akan memberi warna kepada materi undang-undang
negara kita. Apakah isi dari materi Undang-undang lima tahun ke depan
akan lebih bercorak kepada liberalisme, pluralisme, komunisme,
sosialisme? Ataukah ia lebih bercorak kepada semangat keberagamaan
selain Islam? Ataukah ia lebih bercorak kepada semangat berIslam yang
menyimpang bahkan sesat seperti Syi’ah, Ahmadiyah, dan aliran sesat
lainnya? Ataukah ia lebih bercorak kepada semangat Islam yang kaffah, semangat Islam yang syamil mutakammil, semangat Islam yang yang berusaha menegakkan tujuan Syari’at Islam (Maqashid al-Syari’ah)
sebagaimana telah ditulis secara detail oleh seorang ahli ushul fikih
bermadzhab Maliki dari Granada (Spanyol), yaitu Imam al-Syatibi (w. 790
H).
Sesungguhnya, konsep tentang tujuan Syari’at Islam telah
dimulai pada masa Imam Haramain, al-Juwaini dan Imam al-Ghazali. Namun
kemudian disusun secara sistimatis oleh al-Imam asy-Syatibi dalam
kitabnya yang terkenal, al-Muwwafaqat fi Ushul al-Ahkam, juz
II, yang beliau namakan kitab al-Maqashid. Menurut al-Syatibi, pada
dasarnya syariat ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba (mashalih al-‘ibad), baik di dunia maupun di akhirat. Diantara tujuan yang bersifat dharuriyat beliau jelaskan lebih rinci mencakup lima tujuan, yaitu : (1) menjaga agama (hifzh ad-din); (2) menjaga jiwa (hifzh an-nafs); (3) menjaga akal (hifzh al-‘aql); (4) menjaga keturunan (hifzh an-nasl); (5) menjaga harta (hifzh al-mal). Maka apapun Undang-undang yang akan terlahir dari para wakil rakyat adalah bergantung kepada worldview apa, cara pandang apa, yang bersemayam di dalam setiap qalbu mereka. Karena demikianlah satu sisi kelemahan sistem demokrasi tatkala satu orang ulama sama suaranya dengan satu orang jahil.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّكُمْ
رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالأَمِيْرُ رَاعٍ،
وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَّةٌ عَلَى
بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ، فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ
عَنْ رَعِيَّت
“Kalian semua adalah pemimpin dan seluruh kalian
akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpin. Penguasa adalah
pemimpin dan seorang laki-laki adalah pemimpin, wanita juga adalah
pemimpin atas rumah dan anak suaminya. Sehingga seluruh kalian adalah
pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas yang
dipimpin.” (Muttafaqun alaihi)
Maka posisikanlah
diri kita semuanya dengan cara berpikir seorang pemimpin. Yang
senantiasa menimbang-nimbang antara pertimbangan kebaikan dan keburukan,
dampak baik dan dampak buruk, menjauhkan diri dari dorongan hawa nafsu
setan, menjadikan segala urusan pemimpin dikembalikan kepada al-Qur’an
al-Karim, panduan hidup utama umat Islam. Jangan tinggalkan al-Qur’an
hanya untuk dibaca di masjid. Jadikan ia referensi dan sumber motivasi
gerak dan keputusan kita. Mulai dari keputusan-keputusan yang kita buat
dalam memimpin diri ini dalam kehidupan, dalam memimpin keluarga, dalam
kebersamaan kita menegakkan Syariat Islam di negeri kita. Karena semua
keputusan hidup kita adalah sebuah pilihan, dan Allah Swt akan meminta
pertanggungjawaban kita. Apa landasan berpikir kita dalam membuat
keputusan? Bagaimana proses keputusan yang kita jalankan? Apakah kita
melibatkan Allah swt dalam keputusan yang kita ambil?
Jauhkanlah
diri kita dari segala bentuk fanatik terhadap -isme kecuali Islam.
Karena semua -isme adalah produk manusia. Sementara Islam telah
terhidang di hadapan. Jauhkan diri kita dari segala bentuk fanatik
terhadap figur ataupun tokoh. Karena figur dan tokoh tidak abadi dan
bisa menyimpang. Sementara ideologi akan tetap hidup. Jauhkan pula diri
kita dari segala bentuk fanatik terhadap golongan, kesukuan, nasab.
Karena Islam mengawali kelahirannya untuk menghapus segala bentuk
kefanatikan hina seperti itu dan menggantikannya dengan amal unggulan.
Ingatkah kita akan pesan Nabi saw,
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّوَجَلَّ , وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكَ عَبْدٌ
“Saya memberi wasiat kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada Allah ‘azza wa jalla, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memerintah kalian seorang hamba sahaya (budak)”. (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi).
Kuatkanlah referensi berfikir kita dengan as-Sunnah yang mulia, dan kemudian fatwa para sahabat Nabi saw., dan kemudian ra’yu yang di dalamnya terdapat qiyas, ijma’ para ‘ulama, mashalih mursalah, dan sadduz dzarii’ah.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu telah meriwayatkan, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ: الإِمَامُ العَادِلُ وَالصَّائِمُ حَتَّى يَفْطُرَ وَدَعْوَةُ المَظْلُوْمِ.
“Tiga
doa yang tidak tertolak: Doa pemimpin yang adil, orang yang puasa
hingga berbuka, dan doa orang yang dizhalimi” [HR. Tirmidzi dan Ibn
Majah]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
سَبْعَةٌ
يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ
الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِِ اللهِ عَزَّ وَ
جَلَّ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ بِالْمَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا
فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ
طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ حُسْنٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ: إِنِّي أَخَافُ
اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ
شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا
فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
“Tujuh orang yang akan dinaungi Allah pada
hari yang tiada naungan selain naungan-Nya: (1) Seorang imam yang adil
(2) Seorang pemuda yang menghabiskan masa mudanya dengan beribadah
kepada Allah. (3) Seorang yang hatinya selalu terkait dengan masjid. (4)
Dua orang yang saling mencintai karena Allah, berkumpul karena Allah
dan berpisah karena Allah. (6) Lelaki yang diajak seorang wanita yang
cantik dan terpandang untuk berzina lantas ia berkata: “Sesungguhnya aku
takut kepada Allah”. (5) Seorang yang menyembunyikan sedekahnya
sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh
tangan kanannya. (6) Seorang yang berdzikir kepada Allah seorang diri
hingga menetes air matanya.” [HR. Bukhari dan Muslim]
Maka iman
kita mengatakan bahwa imam yang ‘adil adalah imam yang muslim dan imam
yang menegakkan amanahnya di atas tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Karena hanya dengan syarat inilah sebuah do’a dikabulkan Allah. Kita
berlindung kepada Allah Swt dari hadirnya pemimpin sebagaimana ramalan
Rasulullah saw,
يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ
بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ
قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ
“Nanti
setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku
(dalam ilmu, pen) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal,
pen). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya
adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia.“ (HR. Muslim)
Akhirul kalam,
berpikir adalah satu pekerjaan kaum muslimin. Untuk itulah Allah
senantiasa mengulang-ulang perintah-Nya untuk berpikir, dan memberikan
pujian dan balasan terbaik kepadanya.
Sebagai penutup khutbah ini,
khatib berwasiat untuk khatib pribadi dan kita semuanya, bahwa hakikat
memilih wakil rakyat dengan amanah membuat UU untuk keadilan dan
kesejahteraan telah kita tunaikan. Yakinlah bahwa Allah swt akan meminta
pertanggungjawaban akan upaya sungguh-sungguh kita dalam berfikir
secara mendalam untuk memilih wakil rakyat tersebut dalam konteks
meninggikan kalimat Allah di muka bumi ini, dan akan hadir dalam waktu
dekat ini masa bagi kita untuk kembali berfikir secara mendalam untuk
menemukan pemimpin yang ideal, yang menggabungkan kepakaran ulama dan
keutamaan jiwa kepemimpinan untuk menegakkan UU yang telah dibuat para
wakil rakyat yang mendukung kelestarian dan tegaknya Syariat Islam.
Gunakanlah
alat dan metodologi berpikir yang telah diwariskan oleh figur terbaik
yang memang layak diberikan sikap fanantik kita kepadanya, Rasulullah
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalaupun pemimpin yang
ideal itu belum ada dan masih sulit ditemukan, maka minimal pilihan kita
jatuh kepada pemimpin yang memiliki tauhid yang lurus, mencintai sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak menjadi musuh bagi tegaknya syariat Islam. Agar tatkala ia berdo’a untuk menjadikan negeri ini negeri baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, Allah segera mengabulkannya, diiringi do’a kita kepada pemimpin tersebut sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
دَعْوَةُ
الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ
رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ
الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Do’a seorang muslim kepada saudaranya ketika saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan).
Di sisinya ada malaikat (yang memiliki tugas mengaminkan do’anya kepada
saudarany, pen). Ketika dia berdo’a kebaikan kepada saudaranya,
malaikat tersebut berkata : Amin, engkau akan mendapatkan yang sama
dengannya.” (HR. Muslim)
كَمَا تَكُوْنُوْنَ يُوَلَّى عَلَيْكُمْ
“Bagaimanapun
keadaan rakyat, maka begitulah keadaan pemimpin kalian.”, sebuah
ungkapan yang juga dijadikan judul sebuah risalah yang ditulis oleh
Syaikh Abdul Malik Ramadhani al-Jazairi.
Rakyat yang shalih akan
melahirkan pemimpin yang shalih. Rakyat yang senang mendo’akan kebaikan
untuk pemimpinnya, akan mendapatkan pemimpin yang senang mendo’akan
kebaikan untuk rakyatnya. Dari ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
,خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ
الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ
وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ
تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ
“Sebaik-baik
pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka pun
mencintai kalian. Mereka mendo’akan kalian dan kalian pun mendo’akan
mereka. Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka
dan mereka pun membenci kalian, juga kalian melaknat mereka dan mereka
pun melaknat kalian.” (HR. Muslim)
Baarakallaahu lakum fil
Qur’anil ‘azhim, wa nafa’anii wa iyyaakum bi maa fiihi minal aayaati
wadzdzikril hakiim. Fataqabbalallaahu minnaa wa minkum tilaawatahuu
innahuu huwassamii’ul ‘aliim.
Aquulu qawli haadza fa
astaghfirullaahalii wa lakum, wa li saairil muslimiina wal muslimaat,
wal mukminiina wal mukminaat, fastaghfiruuhu innahuu huwal
ghafuururrahiim
Posting Komentar